Selasa, 25 Mar 2025
Opini

Umpan Balik dari Masyarakat Demi Kesuksesan Investasi Danantara dalam Hilirisasi Batu Bara

Oleh Khaidir Asmuni

Presiden Prabowo Subianto mulai mewujudkan investasi BPI Danantara, yang dimulai dari menggarap proyek hilirisasi batu bara, melalui gasifikasi menjadi dimethyl ether (DME) yang diperkirakan menelan investasi mencapai US$ 11 miliar atau sekitar Rp 180 triliun (asumsi kurs Rp 16.450 per US$).

Dengan akan dimulainya investasi ini, Indonesia harus bisa keluar dari labirin silang sengkarut persoalan batu bara, terutama yang menyangkut tumpang tindih izin usaha ataupun perbedaan data. Implementasi Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dengan semangat satu data dan penyelesaian masalah izin usaha yang tumpang tindih itu. Perubahan keempat ini diharapkan dapat menjawab masalah regulasi yang makin disempurnakan.

Own investment dalam menggarap proyek hilirisasi batu bara DME ini, merupakan pengalaman perdana dari BPI Danantara. Sebagai kesan pertama, investasi ini sangat disoroti dan diharapkan berhasil karena akan menjadi contoh langkah awal kemandirian investasi ke depan.

Penegakkan aturan hukum yang disisakan oleh sejumlah aktivitas lama yang terinterupsi oleh mundurnya investor Air Products and Chemicals, Inc. ataupun investor dari China pun harus diperjelas pemecahannya.

Sejumlah literasi media massa menyebutkan pasca mundurnya investor, batubara tersebut tetap diekspor. Kita berharap ini transparan. Apakah ekspor tersebut tidak memiliki konsekwensi hukum. Di tengah upaya bersih-bersih yang dilakukan Presiden Prabowo, sikap transparan dan akuntabel sangat penting.

Masalah lain adalah skill SDM dan teknologi Indonesia melakukan hilirisasi batu bara ke DME juga harus secepatnya dijawab. Masukan dari Indonesia Mining Association (IMA) pernah menyebutkan hilirisasi batu bara seyogianya mempertimbangkan biaya pengolahan yang tinggi. Negara produsen batu bara lain seperti Australia, Rusia, dan India belum melakoni hal serupa karena menilainya tidak ekonomis. Biaya teknologi untuk gasifikasi batu bara memerlukan biaya miliaran dolar AS. 

Dengan mempertimbangkan ini, posisi tawar Indonesia dalam mendapatkan teknologi dan tenaga ahli terkait dimethyl ether sangat lemah karena mahalnya teknologi dan SDM nya. Bagaimana kita memikirkan agar teknologi dan SDM itu dapat kita raih, sehingga kita bisa mendapatkan transfer teknologi dan SDM.

Sejauh ini, kita memang berhasil melakukan hilirisasi batu bara, namun dalam bentuk lain. Seperti pembuatan artificial graphite dan anode sheet atau bahan baku utama untuk membuat anoda dan elektroda yang berfungsi sebagai kutub positif pada baterai. Keduanya merupakan bahan baku baterai lithium-ion. 

Juga dalam mengekstraksi asam humat dari batubara untuk mendukung kebutuhan agroindustri. Dan sejumlah hilirisasi lain.

Namun, untuk teknologi dimethyl ether masih dikuasai negara maju. Dari literasi media massa, disebutkan teknologi DME, pada tahun 2002, Toyo Engineering Corporation (TOYO), produsen DME asal Jepang, membangun pabrik DME pertamanya di China atas permintaan Lutianhua Group Inc, perusahaan pupuk terkemuka Provinsi Sichuan, China. Meskipun pabrik ini berbahan baku gas alam, TOYO kemudian melanjutkan dengan proyek DME berbahan baku batu bara di China.

Bisa saja dari awalnya China mendapatkan teknologi dimethyl ether itu dari Jepang. Namun, terlepas negara mana yang lebih dahulu menemukannya, kita tetap membutuhkan teknologi dan tenaga ahli yang bisa menjadi tempat kita belajar. Walau ini rasanya tidak mudah.

Belajar dari problema SDM dalam hilirisasi nikel, kita makin menyadari bahwa penguatan SDM anak bangsa terhadap pengolahan hasil tambang di Indonesia adalah hal yang mutlak. Dengan kemampuan mengolah hasil tambang sendiri tersebut menjadi bagian agar Indonesia bisa lepas dari middle income trap untuk menjadi negara maju yang berpenghasilan tinggi.

Hilirisasi akan meningkatkan nilai tambah barang, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan dapat meningkatkan pendapatan negara.

Saat ini, kita memang telah menjawab hilirisasi itu dari modal yang berasal dari Danantara. Namun, ada keterkaitan yang erat antara modal, teknologi, penguatan SDM hilirisasi dan regulasi. Sehingga seluruhnya dapat terpenuhi agar Indonesia dapat memiliki teknologi dan SDMnya.

Langkah Presiden Prabowo dalam menyiapkan investasi batubara dari Danantara menjawab sedikitnya dua hal untuk memulai hilirisasi batu bara.

Pertama, menyelamatkan potensi Sumber Daya Alam Indonesia agar memiliki nilai tambah, selain mengurangi impor juga menghemat devisa. Kondisinya, saat ini sulit mendapatkan investor dengan kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu. Langkah Presiden melalui BPI Danantara adalah langkah strategic mengatasi problema hilirisasi nasional melalui penguatan modal.

Kedua, selama bertahun tahun Indonesia melakukan impor LPG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang mencapai 8 juta ton. Sementara, yang baru bisa dipenuhi 1,7 juta ton. Impor telah membuat Indonesia kehilangan devisa negara mencapai Rp 63,5 triliun. Padahal, menurut Jurnal Energi Baru dan Terbarukan 2023, kita memiliki sumber daya batubara sebesar 110,07 miliar ton dan cadangan sebesar 36,28 miliar ton, yang didominasi oleh batubara kalori rendah dan sedang. Selama ini, sekitar 72% dari produksi batubara dalam negeri diekspor. Itupun harganya sering jatuh.

Sejak era Jokowi, hilirisasi telah diupayakan, namun terkendala modal. Bahkan proyek gasifikasi batu bara PTBA menjadi DME ini tercantum sebagai Proyek Strategis Nasional di dalam Perpres 109/2020 tanggal 20 November 2020.

Sebelumnya, pada 2017, keluar Perpres 22/2017 yang mempertimbangkan penghentian ekspor secara bertahap hingga tahun 2046. Perpres ini didasarkan pada asumsi bahwa penyerapan batu bara dalam negeri akan mencapai lebih dari 400 juta ton. 

Tapi kita seperti “dipermainkan” keadaan. Cita cita hilirisasi dimethyl ether terasa dekat tapi menjauh. Terutama ketika investor negara maju mengundurkan diri. Padahal, dalam catatan media massa, 

Indonesia pernah merencanakan pendirian Pabrik DME yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, di mana PT Bukit Asam (PTBA) akan memasok sekitar 6 juta ton batubara per tahun. Proyek senilai US$2,1 miliar tersebut merupakan perusahaan patungan antara badan usaha milik negara PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Petrokimia (Persero) dengan Air Products and Chemicals, Inc. yang berkantor pusat di Amerika Serikat. 

Di lokasi ini bahkan telah dilakukan Groundbreaking oleh Presiden Jokowi pada 24 Januari 2022.

Namun, belakangan, Air Products and Chemicals, Inc. membatalkan investasinya senilai Rp 210 triliun. Lalu, ada lagi investor dari China, namun juga mengundurkan diri.

Sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, kita seyogyanya mendoakan agar Presiden Prabowo dan tim yang menggarap hilirisasi batubara ini dapat berhasil untuk mendapatkan teknologi dan SDM dari negara maju. Sehingga cita-cita untuk konversi batubara ke DME ini akan berhasil.

Kalaupun misalnya Jepang yang memang memiliki teknologi itu, sesuai dengan solidaritas Asia dengan teori angsa terbang (flying geese), kita berharap Jepang sudi untuk berbagi. Meskipun begitu, selain Jepang, tentunya Presiden Prabowo juga memiliki alternatif lain untuk memperoleh teknologi tersebut. Apa dari Amerika, China atau negara maju lainnya. Semoga sukses!!

Penulis Aktivis Democracy Care Institute

 



Baca Juga