Oleh Khaidir Asmuni
Gen Alpha dan Beta (termasuk pula sebagian Gen Z) di Indonesia menghadapi berbagai persoalan pasca Covid-19, seperti lost generation, perubahan iklim, mental, persoalan resesi ekonomi hingga masalah overstimulasi digital. Seperti halnya lahirnya generasi Baby Boomer pasca Perang Dunia 2, dimana saat itu ledakan penduduk cukup besar. Saat itu, bagi Gen Baby boomer, tantangan terbesar adalah memperkuat generasi yang lahir dengan kemampuan untuk menghadapi persaingan dunia pasca perang. Gen Alpha dan Beta (termasuk pula sebagian Gen Z) di Indonesia juga memiliki tantangan seperti itu.
Mereka tidak dalam posisi memilih. Bahkan jangan malu menyebut diri terbelakang jika dibanding negara maju. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang besar tak menjadikan bangsa ini hebat. Satu satunya jalan mereka harus meng-upgrade diri. Inilah yang menjadi jawaban untuk sebuah tanggung jawab generasi.
Berbagai penelitian menyebut makanan bergizi akan memperbaiki fisik, baik dari struktur tubuh, otak hingga jaringan sel dan mencegah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak (stunting).
Seyogianya, program makan bergizi gratis (free meal program) dipahami bukan program bagi-bagi atau charity. Atau pula seremonial. Karena secara epistimologi, program ini sangat membutuhkan pemahaman essensi dan substansi, yang tujuannya meng-upgrade anak bangsa. Agar impact dari program itu dapat membentuk generasi Indonesia yang kuat.
Itulah sebabnya, saat ada yang meributkan masalah mengapa ada yang diberi susu dan ada yang diberi telur dan daun kelor. Itu jelas terdistorsi oleh kurangnya pemahaman secara holistik tentang program ini. Apalagi ada yang meributkan tempat makannya terbuat plastik dengan memasang harga Rp35 ribu. Atau rebutan jadi katering dari program ini. Ini jelas gagal dalam memahami hakikat free meal program tersebut.
Self Response: dari Gerakan Menjadi Front Perbaikan Gizi
Keinginan yang besar untuk meningkatkan kualitas anak bangsa seyogianya membuat respons terhadap program itu dilakukan secara kompak dan simultan. Karena situasinya mendesak kekompakan ini harus ditingkatkan dari bersifat “gerakan” menjadi “front” perbaikan gizi bangsa.
Bangunlah jiwanya dan bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Hal ini selalu terdengar ketika kita menyanyikan lagu kebangsaan.
Makanan bergizi gratis adalah program yang dapat memperkuat memperkuat raga. Sedangkan jiwa (rohani/nonfisik) akan ditempa melalui berbagai program. Salah satunya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang berkarakter, penuh disiplin, moral dan nilai nilai.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti terus berupaya meningkatkan kualitas mental itu melalui program disiplin di sekolah dan pendidikan keluarga. Hal ini menjadi bagian dari penempaan diri untuk membangun jiwa (mentalitas) generasi muda Indonesia.
Secara kognitif, Wamen Stella Christie juga memberikan penekanan terhadap kualitas anak bangsa yang menyangkut kecerdasan dan kemampuan kognisi.
Sinergi yang kuat untuk membangun jiwa dan raga anak bangsa melalui makanan bergizi gratis merupakan upaya mengupgrade generasi muda bangsa ini agar dapat bersaing di kemudian hari.
Teori Makanan di Era Resesi Ekonomi Global
Masih ingat kisah Oliver Twist? Saat ada teori (yang digambarkan dalam novel itu) menyebut jangan beri Oliver daging agar dia jadi penurut dan tidak bisa marah. “Teori makanan” ini memang sangat kuat di era revolusi Industri agar pekerja selalu bergantung pada tuannya.
Mungkin ini kisah yang terlalu ekstrim tentang “teori makanan”. Tapi menjadi pelajaran berharga untuk memahami bagaimana peran makanan terhadap pembentukan mental manusia sangat penting.
Situasi ekonomi global saat ini kurang menyenangkan. World Bank bahkan merilis perkiraan 60 juta orang akan terdorong ke kemiskinan ekstrem di tahun 2020. Makanan bergizi gratis menjadi kebutuhan yang diharapkan di hampir semua negara. Amerika Serikat sendiri telah menerapkan makanan siang gratis untuk anak-anak sekolah pasca pandemi Covid-19. Juga negara maju lainnya.
Di Indonesia, disadari bahwa sebagian anak anak terbiasa tidak sarapan pagi (ini sempat disinggung Presiden Prabowo). Apakah hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat atau ada unsur kemampuan finansial, tentunya hal ini kurang baik bagi pembentukan raga yang kuat. Oleh sebab itu, harus diantisipasi segera.
Yang patut digarisbawahi adalah situasi saat ini pasca Covid-19 bisa menjadi peluang karena setiap negara dalam posisi yang sejajar untuk bergerak maju. Ibarat komputer yang diinstal, pandemi Covid telah membuat momentum bagi negara negara yang mampu mengejar titik kesejajaran, terutama di bidang ekonomi.
Tapi situasi ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang benar benar siap, baik secara fisik, mental dan keuangan. Setiap generasi muda di berbagai belahan dunia, saat ini, memiliki kesempatan yang sama untuk bangkit dan bergerak maju.
Situasi resesi ekonomi membuat semua negara mulai memikirkan generasi mudanya.
Jika kita Googling, persoalan pemberian makanan bergizi gratis tersebut, negara maju seperti Amerika Serikat juga melakukannya pasca pandemi, dimana kondisi ekonomi menyebabkan para orang tua juga kesulitan untuk membiayai makan siang bagi anak-anak mereka.
Jika kita memahami bahwa pemberian makanan bergizi gratis bagi siswa ini merupakan sebuah prioritas yang harus dilakukan sesegera mungkin, maka kita tidak akan mempertanyakan apakah mereka harus mendapatkan susu atau telur dan daun kelor. Karena intinya adalah perbaikan gizi bangsa dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Kita justeru akan terharu bagaimana perjuangan Presiden Prabowo mengupayakan agar program ini segera dilaksanakan meski dengan Rp10 ribu. Meski dengan jumlah itu, kita optimistik program ini akan meng-upgrade anak bangsa.
Nilai Rp10 ribu itu tentunya tidak lah mudah dikumpulkan karena merupakan kucuran keringat yang mungkin berdarah-darah. Oleh sebab itu, saat program ini dilaksanakan harus dengan baik. Jangan ada makanan yang tersisa. Ketika ada sebagian generasi muda anak-anak kita tidak menyukai makanan yang diberikan, para orang tua sudah saatnya mendorong anak-anaknya untuk menerima makanan tersebut. Karena dari sana pendidikan karakter terhadap rasa bertanggung jawab itu dimulai. Jangan sia-siakan makanan tersebut. Habiskan karena itu dapat memperkuat raga menuju persaingan di masa depan.
Kita tak bisa membayangkan bagaimana pentingnya program makanan bergizi gratis ini. Ini bukanlah program seremonial.
Tetapi sebuah program yang diharapkan memiliki impact yang dalam terhadap sebuah perubahan untuk meningkatkan kualitas jiwa dan raga generasi muda Indonesia. (*)
Aktivis Democracy Care Institute