Oleh Khaidir Asmuni
Mirza -Jihan kini menapaki program 100 harinya setelah dilantik Presiden Prabowo Subianto dan telah mengikuti retret di Akmil Magelang.
Dalam briefing perdana bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Lampung 3 Maret 2025 lalu Gubernur Mirza menggarisbawahi misinya untuk mendorong pembangunan ekonomi inklusif, mandiri dan inovatif. Juga memperkuat SDM unggul dan produktif, serta meningkatkan kehidupan masyarakat beradab, berkeadilan, dan berkelanjutan, dengan tata kelola Pemerintahan yang efektif dan berintegritas.
Untuk misi pembangunan ekonomi inklusif, mandiri dan inovatif, Gubernur Mirza akan memacu partisipasi pembangunan ekonomi yang dilakukan masyarakat dengan harapan agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang riil dalam neraca APBD transaksi berjalan saat ini.
Jika berkaca pada catatan pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung tahun 2024 perkwartal terjadi peningkatan 0,75. (melihat kwartal II dan III tahun lalu). Posisi terakhir pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung tahun 2024 mencapai 4,57%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2023 yang tumbuh sebesar 4,55%. Akankah pertumbuhan dapat dipacu jadi 5% atau lebih pada tahun 2025?
Untuk peningkatan pertumbuhan di tahun 2025 yang sudah berlangsung hampir satu kwartal, tantangan Mirza-Jihan ke depan salah satunya meningkatkan PDRB yang saat ini berada pada posisi Rp483.882,92 miliar. Dari briefing perdana kemarin, Gubernur Mirza mengambil 3 program Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang berpotensi meningkatkan nilai tambah di masyarakat.
Tiga program PHTC tersebut yakni pertama Mengoptimalkan Potensi Ekonomi Desa dan Daerah serta Mendorong Pembangunan dari Desa dan dari Bawah dengan Peningkatan Kapasitas BUMDes.
Kedua, Menyediakan Pupuk Organik melalui Pembangunan Unit Produksi Mikro Pupuk Organik yang Dikelola oleh BUMDes.
Ketiga, Mewujudkan Stabilitas Harga Pangan Pokok dengan Memprioritaskan Produk Lokal.
Mirza tidak bisa lepas dari kebijakan fiskal pemerintah pusat terutama terkait dengan peningkatan daya beli masyarakat. Karena bagaimanapun juga M2 (peredaran uang) juga akan bergantung dari kemampuan daya beli. Pada bulan Januari 2025, peredaran uang M2 di Indonesia mencapai Rp9.232,8 triliun. Untuk Lampung, BI tahun lalu menyebut Rp3,3 triliun.
Pemberian THR dan gaji ke-13 pada 2025 diharapkan dapat membuat uang berputar akan lebih banyak di masyarakat. Oleh sebab itu, pada 100 hari pertama, kebijakan fiskal tetap merupakan bagian penting dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi di samping menjaga konsumsi masyarakat dan beberapa aktivitas perekonomian lainnya.
Ada sejumlah peluang untuk meningkatkan pertumbuhan. Misalnya, implementasi program MBG yang melibatkan BUMDes, koperasi dan UMKM. Hal ini terlihat telah dimasukkan Gubernur Mirza dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC), terutama pada pointer mengoptimalkan potensi ekonomi desa dan daerah serta mendorong pembangunan dari desa dan dari bawah dengan peningkatan kapasitas BUMDes.
Terdapat sejumlah pertimbangan agar optimalisasi itu berjalan sesuai harapan.
Pertama, tim yang menjalankan program PHTC memiliki literasi dan pemahaman yang kuat untuk mendorong pembangunan ekonomi desa. Yang jadi persoalan adalah program revitalisasi pedesaan pada era Presiden Prabowo ini tidak seperti sebelumnya, karena ada tuntutan yang lebih besar untuk mengatasi angka pengangguran, daya beli masyarakat yang rendah, hingga maraknya PHK akibat iklim resesi ekonomi dunia. Apalagi, Presiden menekankan saatnya Indonesia membangun kemandirian ekonomi dimana langkah efisiensi (refocusing) anggaran dialihkan ke hal prioritas. Untuk itu, mentalitas tim yang dibangun harus mengandalkan dedikasi tim dengan tingkat militansi yang kuat.
Kedua, pada saat awal transaksi berjalan (kwartal I) biasanya masih mengalami transisi. Bahkan RPJMD juga harus diadaptasikan dengan perubahan yang terjadi. Oleh sebab itu, untuk 100 hari pertama ini, adalah suatu prestasi apabila Tim yang dibangun Gubernur Mirza mampu menjabarkan RKPD di setiap OPD terkait dan memaksimalkan langkah apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkan optimalsasi pembangunan ekonomi desa dari program PHTC ini.
Ketiga, dalam 100 hari ini memang ada wait and see terkait dengan langkah dan kebijakan pemerintah Pusat. Misalnya, baru baru ini, Presiden Prabowo membentuk Koperasi Desa Merah Putih (Kop Des Merah Putih), yang akan dibangun di 70 ribu hingga 80 ribu desa di seluruh Indonesia.
Pembentukan koperasi ini cukup signifikan dalam perekonomian desa. Sehingga layak ditunggu berapa persen anggaran yang bisa diserap untuk Provinsi Lampung.
Gambaran yang dijelaskan Pemerintah Pusat usai Ratas Menteri 3 Maret 2025 lalu, koperasi ini akan menampung hasil pertanian di desa. Nanti akan ada 6 gerai. Ada gudang. Dan pengucuran dana Rp3-5 miliar. Gerai yang akan dibentuk seperti gerai sembako, outlet gerai obat murah, apotek desa, outlet kantor koperasi, outlet unit usaha simpan pinjam koperasi, outlet klinik desa, outlet cold storage, serta distribusi logistik. Juga akan terdapat 64 ribu Gapoktan siap bermigrasi menjadi koperasi.
Mengapa program koperasi Desa ini menjadi penting? Sebab, langkah Presiden Prabowo Subianto selalu terpadu (terintegrasi) dengan sejumlah program besar lainnya. Program Koperasi Desa ini juga melibatkan Dana Desa dimana sebelumnya Menteri Desa telah mengeluarkan Permendesa PDT Nomor 2 Tahun 2024. Permendesa ini mengatur petunjuk operasional atas fokus penggunaan dana desa tahun 2025. Dengan adanya Kopdes Merah Putih, maka Permendesa terbaru ini akan direvisi.
Dari Penjelasan di atas, memang terdapat berbagai potensi untuk meningkatkan nilai tambah melalui program ekonomi di desa. Nilai tambah tersebut tentu saja akan berpengaruh pada PDRB Provinsi Lampung. Sejauh mana ini dapat di maksimalkan?
Dengan menerapkan berbagai program yang konsisten agar menghasilkan nilai tambah yang riil, maka hal itu sangat bisa tercapai. Bahasa gamblangnya, jika dalam suatu desa dibutuhkan sekian ribu telur ayam, sekian ribu kilo daging ayam dan sekian kilo sayur-sayuran per hari untuk program makan bergizi gratis, maka sudah dapat dilihat potensi pengadaan di desa itu. Tinggal bagaimana upaya ini terus diperkuat dengan dedikasi yang kuat dalam pelaksanaannya dan dukungan luas dari masyarakat untuk mengembangkan perekonomian. Dan yang sangat penting adalah harus bebas dari korupsi.
Konsolidasi Internal
Dalam 100 hari ini, konsolidasi internal yang dilakukan oleh pemerintah daerah, tidak terkecuali di Provinsi Lampung, memang sangat menentukan keberhasilan program.
Sebetulnya, ada sinyal lampu hijau dari Mendagri Tito Karnavian bagi gubernur yang ingin mengganti “kabinet” di daerah langsung usai dilantik, yang diberikan izin untuk melakukannya karena pertimbangan chemistry dan untuk membangun tim yang kuat.
Konsolidasi internal ini sebetulnya lebih pada penguasaan dari program-program yang akan diterapkan oleh Gubernur. Juga, karena perubahan nomenklatur dari Pemerintah Pusat.
Hal yang terpenting dari perkembangan di pemerintahan Prabowo Subianto adalah jika di tingkat pusat terjadi koordinasi lintas kementerian, maka di daerah pun hal tersebut akan berlaku. Misalnya, dalam program swasembada pangan, di dalamnya tidak hanya melibatkan Kementerian Pertanian tapi tapi juga Kementerian Tenaga Kerja, TNI Polri bahkan Kejaksaan, Kementerian Koperasi Kementerian UMKM dan sebagainya. Intinya, satu program ditinjau secara konvergentif dan lintas kementerian. Di daerahpun tinjauan konvergentif swasembada pangan akan bersifat lintas OPD dan lembaga.
Terlepas apakah akan terjadi “resufle” kabinet di daerah atau tidak, penguatan konsolidasi internal memang menjadi bagian penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan.
Saat ini, Gubernur Mirza dan Wagub Jihan all out membangun daerah. Respons terus dilakukan dengan cepat menjawab keluhan rakyat.
Gubernur Mirza juga segera melaksanakan program quick win yang terintegrasi dengan pertumbuhan ekonomi. Yaitu perbaikan 6 ruas jalan di Pringsewu-Kalirejo, Kalirejo-Bangunrejo, Bandar Jaya-Mandala, Kotabumi-Bandar Lampung, Jabung-Labuhan Maringgai, dan Metro-Tanjung Karang. Jalan jalan tersebut memang paling banyak dikeluhkan masyarakat. (*)
Penulis Aktivis Democracy Care Institute