Agung Budi Prasetyo, pembicara sosialisasi pinjol. (Foto: Ist)
Oleh: Bagus Sudarmanto
Catatan Dari Diskusi Sosialisasi Pinjaman Online OJK
Sebuah diskusi sosialisasi tentang pinjaman online (pinjol) yang diikuti sekitar 150 jurnalis dan blogger di Jakarta, Senin (22/7/2024) lalu, menarik untuk dicermati. Digelar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Komisi XI DPR RI di Gedung Benyamin Sueb Jatinegara, diskusi ini mengusung tema krusial, yakni “Bahaya Penyalahgunaan Data Pribadi Dalam Pinjaman Online”.
Disebut krusial karena jika data pribadi dikaitkan dengan pinjol ilegal, maka masalahnya menjadi sangat dilematis. Mengapa? Sebab, mengutip Agung Budi Prasetyo sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, keberadaan pinjol ibarat “berkah” tetapi juga “musibah”.
Pinjol disebut “berkah” lantaran masyarakat sangat mudah mendapatkan pinjaman uang tunai tanpa agunan. Bagi masyarakat tentu kemudahan pinjol ini dapat mengatasi kebutuhan dana saat terdesak, tanpa perlu menyiapkan persyaratan berlapis-lapis sebagaimana jika mengajukan pinjaman ke produk layanan keuangan perbankan. Sehingga tak berlebihan kalau ada sementara yang menilai pinjol menjadi solusi keuangan yang paling praktis bagi masyarakat.
Namun di balik “berkah” kemudahan itu, pinjol adalah “musibah’ yang nyata yang akan diderita masyarakat. Mereka tanpa disadari telah terjerat ke dalam lingkaran viktimisasi berganda. Menjadi korban berkelanjutan berupa perlakuan buruk, tidak saja bakal dibebani bunga yang besar, dikejar-kejar debt collector di manapun mereka berada, diteror, bahkan mendapat ancaman fisik maupun psikis sedemikian rupa.
Tidak sampai di situ, data pribadi korban digunakan pihak pinjol untuk mempermalukan korban dengan menyebarkan informasi berkonotasi negatif kepada semua orang di lingkaran pergaulan terdekat korban. Tujuan penyelenggara pinjol agar korban segera melunasi pinjol yang menjadi kewajibannya, meski stigma negatif terlanjur telah melekat pada diri korban.
Masalah lain yang juga bisa menimpa korban peminjam pinjol adalah terkait data pribadi. Data pribadi tersebut sebenarnya memiliki nilai komoditas yang berharga atau oleh Agung Budi Prasetyo disebutnya sebagai harta karun yang harus dijaga. Data pribadi yang dimaksudkan antara lain, data identitas diri, data keuangan pribadi, data platform digital, data riwayat kesehatan, data kepegawaian, dan data riwayat pendidikan. Jika data tersebut berada di tangan pinjol ilegal, banyak kemungkinan buruk bisa terjadi. Kalau kemudian Agung Budi Prasetyo dalam kesempatan diskusi menyatakan bahwa ada 3.000 orang meninggal bunuh diri karena terlilit pinjol, maka hal ini menunjukkan betapa berbahayanya persoalan pinjol ilegal bagi masyarakat.
Celakanya, dewasa ini pengelola pinjol ilegal sudah sampai pada tingkat memiliki kemampuan mencuri data pribadi warga, yang kemudian digunakan untuk mengembangkan modus operandi dalam mencari korbannya. Dengan piranti teknologi tertentu mereka menjebol data warga, untuk kemudian dengan berbagai tipu daya mereka ‘memaksa’ memberikan pinjaman kepada calon korbannya. Modus ini, menurut Agung Budi Praseyo, dilakukan dengan cara, uang tiba-tiba masuk ke rekening seseorang. Jika uang terpakai, maka orang tersebut dianggap sudah meminjam uang. Ada juga modus melalui SMS yang berisi pesan: ‘ada uang masuk ke rekening’. Ketika SMS dibuka, maka pihak pinjol menganggap orang tersebut telah menyetujui pinjaman ke pinjol. Umumnya korban sulit mengelak, dan dipaksa mengembalikan pinjaman berikut bunganya oleh debt collector.
Pendekatan Literasi
Fenomena pinjol ilegal yang menyeruak masif di tengah-tengah masyarakat ini senyatanya merupakan masalah sosial yang dapat mengancam ketertiban masyarakat. Gelagat meningkatnya eskalasi keberbahayaan pinjol ilegal tercermin dari intensifnya pemerintah melakukan pendekatan preemtif dan preventif melalui literasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas tentang berbahayanya pinjol ilegal.
Memang upaya literasi dan sosialisasi ini tidak serta merta membuahkan hasil. Memerlukan proses waktu yang panjang dan berkesinambungan. Meski demikian bentuk literasi agar masyarakat terhindar dari jebakan pinjol yang dilakukan OJK selama ini terlihat cukup efektif. Misalnya dengan memberikan langkah-langkah pencegahan praktis, sebagaimana disampaikan Agung Budi Prasetyo.
Pertama, jangan membuka informasi dari sumber yang tidak jelas yang masuk ke email, WA dan SMS karena diboncengi pencuri data, dan hubungi bank jika ada uang masuk rekening yang tidak jelas asal-usulnya;
Kedua, jangan sembarangan memberikan data terutama foto setengah badan sambil memegang KTP; memberikan nomor NPWP, nomor KK, SIM, dan nomor rekening;
Ketiga, jangan mengunggah data-data pribadi dan foto ke media sosial, karena data-data itu bisa diolah menggunakan artificial intelligence (kecerdesan buatan) untuk melakukan penipuan;
Keempat, jangan membuka m-banking menggunakan wifi di tempat umum, karena nomor PIN dan password bisa dicuri; dan segera melapor ke OJK jika mengalami masalah pencurian data terkait pinjol.
Sementara di pihak yang lain, pemerintah juga melakukan langkah-langkah represif terhadap keberadaan pinjol ilegal itu sendiri. “Pemerintah melalui OJK mulai mempersempit ruang gerak dan bahkan menutup pinjol ilegal. OJK mencatat kini tinggal 98 pinjol ilegal yang masih beroperasi. Saya berkeyakinan jumlah 98 itu akan menyusut hingga seperti negara Asean lainnya, sehingga Indonesia akan bersih dari pinjol. Sebab belakangan pinjol ini banyak dikaitkan dengan pencucian uang (tindak pidana pencucian uang/TPPU, Red),” jelas Agung Budi Prasetyo.
Penanganan Kolaboratif Interprofesi
Penanganan masalah pinjol yang telah mengancam ketertiban masyarakat dan memakan banyak korban, sesungguhnya tidak bisa didekati dengan pendekatan parsial. Artinya perlu ada semacam pendekatan penanganan yang kolaboratif interprofesi, dengan melibatkan berbagai internal maupun eksternal organisasi sesuai jenis penanganannya.
Apa yang dilakukan OJK dengan menggelar diskusi sosialisasi bersama DPR di depan para jurnalis dan blogger, merupakan bagian dari bentuk kolaborasi interprofesi itu. Betapapun di era media baru atau media digital saat ini, peran masyarakat maya melalui media sosial, merupakan keniscayaan. Keberadaan dan peran blogger misalnya – dapat disebut sebagai personal media – tidaklah berbeda dengan media arus utama di era media konvensional. Posisi blogger dan jurnalis dari lembaga media, sama-sama dapat menjalankan fungsi edukasi, informasi, hiburan, dan kontrol sosial. Mereka dapat berperan sebagai civil oversight (pengawasan masyarakat) di ruang publik maya, seperti halnya di media sosial.
Oleh karena itu pilihan OJK untuk berkolaborasi dengan komunitas blogger adalah kebijakan yang dapat menjadi model kolaboratif interprofesi dalam kaitan program memperketat proses perizinan, pengawasan, peningkatan akses layanan keuangan, maupun produk layanan keuangan yang kompetitif. Semuanya bertujuan sama, membangun ekosistem pinjol yang aman dan bermanfaat bagi semua pihak, demi tercapainya kesejahteraan bersama. (*)
Penulis adalah Kriminolog dari Universitas Indonesia.