Oleh Khaidir Asmuni
Dua peristiwa mengiringi pasca peluncuran BPI Danantara. Yang pertama kasus korupsi yang terjadi disejumlah BUMN, yang sebelumnya juga memiliki record terkait isu korupsi di BUMN. Dan kedua, terjadinya PHK, penurunan IHSG, hingga penutupan pabrik, yang sebagian pendapat mengaitkannya dengan iklim dunia usaha.
Terlepas dari apakah peristiwa tersebut terjadi secara accidently, atau memang ada invisible scenario, untuk peristiwa pertama (korupsi di BUMN) sebetulnya secara positif thinking kita berharap agar Danantara bersih ketika akan dimulai.
Pemberantasan korupsi di era Presiden Prabowo Subianto, yang salah satunya menyasar sejumlah BUMN itu, diharapkan menjadi upaya pembebasan Danantara dari residu residu masa lalu yang buruk, seperti mentalitas dan budaya korupsi, kolesterol yang membuat banyak pemborosan (fraud dalam operasional) ataupun virus dari mafia yang terkontaminasi dan sangat sulit diberantas selama ini.
Idealnya, kita berharap saat dimulai, Danantara sudah menjadi kertas putih yang memulai catatan baru. Seperti layaknya petugas SPBU berkata: mulai dari nol ya pak. Yang menandakan keterbukaan dan kejujuran saat memulai sesuatu.
Catatan baru Danantara dimulai dari konsolidasi internal badan tersebut, yang dilakukan segera. Apalagi, disebutkan oleh CEO Rosan Roeslani akan memasukkan seluruh BUMN ke dalam Danantara, maka konsolidasi internal ini tidak saja membutuhkan waktu, tetapi juga energi yang besar, yang bisa menyita kerja tim di dalamnya. Sementara, pada saat bersamaan, tim Danantara juga harus segera beradaptasi secara eksternal dengan atmosfer perekonomian dan investasi internasional.
Dapat disimpulkan, pada masa awal ini, Danantara memiliki dua tantangan krusial. Secara internal adalah konsolidasi ke dalam yang menjadi bagian pembentukan mental anti korupsi dan pengembangan sistem kerja. Dan yang kedua kesiapan SDM tim secara eksternal karena harus berhadapan dengan dinamika perekonomian internasional.
Terkait konsolidasi internal, tim Danantara yang dibentuk harus menjawab pertanyaan publik bahwa struktur yang ada pada Danantara saat ini, yang berlapis, merupakan hal yang dibutuhkan, bukan mengakomodasi bagi bagi kursi yang dipengaruhi persoalan politik atau persoalan lain. Sebab, proyeksi Danantara adalah perolehan investasi, sehingga struktur yang ada saat ini memang dibutuhkan untuk efektifitas operasional dan mengawal pelaksanaan investasi agar jauh dari penyimpangan.
Struktur Danantara ini juga bisa dipandang sebagai sebuah kekuatan lembaga investasi yang representative, mewakili semua kalangan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Representasi ini akan berpengaruh pada sistem kerja yang akan diterapkan.
Sedangkan terkait tantangan eksternal yang akan dihadapi tim Danantara adalah wawasan dan kemampuan bermain di medan investasi internasional.
Saat ini saja, ketika baru dilahirkan, Danantara sudah mengalami banyak spleteran dengan munculnya berbagai kejadian yang berpengaruh pada persepsi investor.
Dua tantangan (internal dan eksternal) ini menimbulkan sebuah pertanyaan yang sangat motivatif. Mampukah Tim Danantara mengimbangi Presiden Prabowo?Mampukah tim Danantara yang dinahkodai Rosan Roeslani akan segiras, secerdas dan sekomitmen dengan langkah Presiden Prabowo, terutama jika dikaitkan dengan landasan historis, filosofis dan ekonomis tentang kehadiran Danantara.
Mampukah Rosan Roeslani dan tim Danantara bersikap desperately trying to keep up with President, dari semua sisi termasuk mobilitas dalam bekerja. Salah satu yang menonjol dari sikap Presiden sejak awal adalah bekerja keras untuk rakyat. Bahkan tanpa hari libur. Bahasa halusnya, jika sudah terkait dengan nasib rakyat, maka tidak ada tawar menawar.
Pertama, ada tuntutan alam, bahwa Rosan dan Tim harus keluar dari zona nyaman. Ibarat ungkapan legenda revolusi Amerika Jhon Paul Jones kepada Le Ray de Chaumont ketika akan menunaikan suatu tugas. “I wish to have no connection with any ship that does not sail fast; for I intend to go in harm’s way.”
Makna yang dalam dari pernyataan ini menunjukkan perjalanan dalam perjuangan yang tidak mudah. Yang tidak bisa ditempuh dengan jalan santai dan berleha leha. Tapi dalam perjuangan yang tentu saja keluar dari zona nyaman.
Ketika muncul sebuah cuplikan video Menteri Rosan bertemu Menteri Bahlil yang tersebar di medsos. Yang tampaknya sebuah selebrasi pasca peluncuran Danantara, hal itu sebetulnya tak perlu dibuat seperti selebrasi. Karena masyarakat sangat paham, peluncuran ini baru awal dari perjuangan menuju kemandirian ekonomi bangsa. Bukan puncak kemenangan yang harus dirayakan seakan telah mengalahkan faksi lain, yang tidak jelas entah faksi apa.
Kedua, kemampuan mengimbangi Presiden Prabowo sebetulnya butuh konsentrasi dan fokus yang kuat. Fokus pada instruksi. Sejak awal Kabinet Merah Putih diumumkan, Presiden Prabowo memang sepuluh langkah di depan para menterinya. Tidak saja memberikan contoh yang baik sebagai master commander tetapi juga menjadi panutan yang langkah-langkahnya terukur. Dapatkah konsentrasi (fokus ke Danantara) ini diikuti Rosan dan tim? Apakah fokus sebagai master commander bisa dilakukan Rosan dengan berani menanggalkan jabatan lain, termasuk jabatan sebagai Menteri Investasi? Ini hanya contoh. Sebab, publik internasional memahami bahwa karakter korporasi pada Danantara sebetulnya membutuhkan independensi dari anasir-anasir yang berbau government. Bukan ex officio. Jangan sampai rangkap jabatan itu disikapi berbeda oleh para investor.
Ketiga, memiliki wawasan internasional menjadi hal yang mutlak. Juga kemampuan dalam mengakselerasi media sosial, buzzer yang berbeda pendapat, para tokoh yang sulit diajak bertaubat dalam mengkritik, dan proxy yang dilakukan negara lain.
Yang cukup menjadi bahan pertimbangan adalah bagaimana peran dari X pasca Twitter diakuisisi oleh Elon Musk, berbagai informasi mengenai kritik tersebut muncul menembus batas-batas negara. Kritik tersebut bukan sesuatu yang bisa dikendalikan, melainkan harus dihadapi.
Saat ini, para tokoh dunia sangat sulit dilepaskan dari “one man show” ketika mereka mulai menunjukkan tajinya. Seperti halnya publik baru baru ini menyaksikan kritik pedas Ray Dalio terhadap utang luar negeri Trump, ketika diwawancarai Tucker Carlson. Hal ini menunjukkan wawasan internasional itu tidak lagi berdasarkan pertemanan atau pergaulan melainkan sisi profesionalitas ekonomi. Dapatkah kita membayangkan bagaimana tantangan Rosan dan Tim ketika harus membuat klarifikasi internasional di Tucker Carlson Show dan harus menghadapi pertanyaan dari raksasa ekonomi dengan segudang pengalaman internasional, jika tanpa kemampuan memadai?
Langkah Indonesia menarik sejumlah tokoh dunia seperti Tony Blair dan Ray Dalio selain merupakan upaya meningkatkan kepercayaan dunia investasi internasional, juga yang lebih penting adalah menempatkan Indonesia untuk duduk paling depan sebagai pemain baru di kancah investasi global. Oleh sebab itu, apabila posisi duduk terdepan ini tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk meraih lebih banyak investor, maka akan sangat disayangkan. Masuknya nama besar itu (terlepas bagaimana invisible scenario yang mengiringinya) memiliki konsekwensi bahwa kita memang memiliki kemampuan bermain pada skala global.
Keempat, tim Danantara yang dibutuhkan memang harus nakal tapi tidak melakukan fraud. Liar tapi bisa dibina. Gambarannya ketika NASA (dalam film Armagedon) membutuhkan pengebor minyak untuk membelah asteroid yang akan menabrak bumi, maka kualifikasi dalam rekruitmen tim tetap mengutamakan skill, yaitu skill mengebor. Bukan yang lain.
Liarnya tim, diharapkan dapat mencium investasi di seluruh pelosok jagad. Oleh sebab itu, perkataan Jack Ma memang ada benarnya. Kadang kadang, Company is not a farm, tapi zoo. Dimana di dalamnya terjadi dinamika luar biasa untuk membesarkan investasi Indonesia. (*)
Penulis Aktivis Democracy Care Institute