Sabtu, 8 Feb 2025
Opini

Mereka yang Tak Pernah Berhenti Mencintai Negeri Ini: I’m With You Mr. President!

 

Oleh Khaidir Asmuni

Presiden Prabowo Subianto terus menjaga dengan baik komunikasi dengan rakyat. Bahkan, pada setiap kebijakannya, apapun yang berkaitan dengan rakyat, Presiden sangat jelas keberpihakannya. Nyaris seluruh programnya bersifat langsung (direct) ke kepentingan rakyat.

Bahasa komunikasi yang dibangun oleh Presiden diupayakan dengan sangat sederhana. Ketika kita bicara soal ketahanan pangan, swasembada pangan, Presiden secara riil menerapkan program Makan Bergizi Gratis, dimana kebutuhan makan yang riil diimplementasikan.

Ketika Presiden menerapkan bagaimana swasembada energi, dengan upaya keras PLN memberikan diskon 50% untuk tarif listrik dan itu dirasakan masyarakat secara langsung. Ketika petani, nelayan dan UMKM menghadapi cobaan berat menghadapi resesi ekonomi, Presiden Prabowo membebaskan utang mereka. Dan program program lainnya.

Semua yang dilakukan Presiden itu menunjukkan komunikasi yang dibangun dengan rakyat tidak berliku. Sederhana dan mudah dicerna oleh rakyat banyak.

Upaya keras untuk menyampaikan maksud baik dari program pemerintah saat ini sebetulnya sangat wajar dibangun. Sebab, di tengah tekanan ekonomi global saat ini banyak komponen yang harus diperhatikan. Sebut saja seperti masyarakat banyak yang jumlahnya paling besar. Lalu, kelas menengah dan yang terakhir sektor swasta.

Komponen komponen ini membutuhkan kebijakan yang relevan terkait kebutuhan mereka. Dari kebijakan terkait kesejahteraan, lapangan kerja dan kenaikan gaji hingga kondisi iklim perekonomian yang sehat.

Mengingat dari ketiga komponen ini rakyat berada pada posisi jumlah yang sangat besar, sehingga bahasa yang dibangun harus konkret dan menyentuh kebutuhan mereka.

Di balik komunikasi yang dibangun itu, sebetulnya kasat mata ada tekad yang dalam dari Presiden Prabowo untuk menggunakan bahasa santun dengan rakyat. Yaitu bahasa yang jauh dari basa basi dan lebih menekankan substansi dan esensinya. Beliau tidak soal jika harus minta maaf ke rakyat tapi pantang jika disebut mengingkari.

Belakangan ini, ada sejumlah peristiwa yang secara kasuistik masuk dalam wilayah yang kelihatannya cukup sensitif. Artinya, peristiwa itu terjadi berpotensi menimbulkan hal dilematis sehingga harus disikapi dengan kebijaksanaan tingkat tinggi.

Yang pertama terkait dengan pagar laut. Kedua terkait impor (salah satunya impor tapioka). Yang ketiga pembelian gabah yang ternyata masih ada yang membeli gabah petani di bawah Rp6.500 dan yang terakhir adalah ketika masyarakat antri membeli gas.

Sementara volume ekspor gas nasional mencapai 15,49 juta ton di tahun 2023. Sehingga antri BBM itu sangat kontradiktif dengan gas nasional yang berlimpah.

Untuk yang pertama terkait dengan pagar laut. Hal ini tentu saja (jika kita interpretasikan versi logika umum masyarakat) berkaitan dengan kedaulatan negara. Laut menyangkut ketahanan nasional. Jangankan di sepanjang pantai di Tangerang yang dipagar 30 km, di sekitar Laut Cina Selatan pun kita berupaya memperkuat alutsista untuk menjaganya.

Itulah sebabnya, persoalan pagar laut tidak bisa dilihat sebagai persoalan hukum (an sich) ataupun dilema penyelesaian secara politik, tetapi menyangkut hal lebih mendasar: kedaulatan negara.

Kedua, terkait dengan impor tapioka. Tapioka termasuk bahan pangan. Di tengah tekad pemerintah untuk swasembada pangan dan memperkuat stamina untuk tidak melakukan impor pada beberapa produk, kejadian impor tapioka ini menjadi suatu hal yang sangat kontradiktif dengan semangat bangsa untuk memperkuat stamina tidak melakukan impor.

Peristiwa impor ini menjadi sangat sensitif di tengah gaung ketahanan pangan dan swasembada pangan. Bahkan bisa saja dianggap menciderai tekad dan semangat bangsa.

Ketiga, terkait pembelian gabah yang ternyata masih ada yang membeli gabah petani di bawah Rp6.500/kg di tingkat penggilingan padi. Dalam upaya untuk menjaga petani sebagai pelaku utama ketahanan pangan, lalu lintas jual beli antara pengusaha dan petani diharapkan memberi suasana nyaman bagi semua pihak dengan harga yang ditetapkan itu. Namun, secara kasuistik hal ini masih terjadi.

Dan peristiwa terakhir saat terjadi antrian panjang untuk membeli gas, yang jika dibiarkan akan menyebabkan terdistorsinya maksud baik pemerintah dengan rakyat. Bahkan terkesan menghilangkaan sebuah kepekaan terhadap rakyat. Yang dengan susah payah dibangun selama ini.

 Sebuah Refleksi Moralitas

“Berhentilah untuk memperbaiki dunia.” Ini secuil kalimat dari film The Big Short. Perkataan ini seolah mengingatkan kita bahwa sesungguhnya tak seorangpun dituntut untuk menjadi pahlawan. Kecuali orang orang yang memang tak bisa berhenti mencintai negaranya.

Mereka bisa saja orang orang yang telah melakukan sesuatu yang jauh melampaui apa yang dilakukan orang kebanyakan.

Sifat dan sikap kepahlawanan memang membutuhkan sebuah manifestasi. Seiring dengan perkembangan visi nasionalisme yang universal di tengah tantangan dinamika regional saat ini, manifestasi itu bahkan membentuk nilai nilai moral baru tentang kepahlawanan.

Pada level paling sederhana hal ini bisa terlihat dalam dedikasi bekerja sehari hari. Atau melihatnya secara sedikit lebih ekstrem memaknai watak altruisme. Semua menjadi bagian dari manifestasi baru heroisme.

Di tengah manifestasi baru itu, seluruh pemimpin dunia tentu saja akan menghadapi “perang hybrida” yang tak terhindari saat ini. Yang sangat kompleks baik berkaitan dengan ekonomi, sosial, informasi, diplomatik, perdagangan, dan lainnya. Perang hybrid ini melibatkan musuh yang tidak standar, kompleks, dan cair. 

Perang tarif ekonomi yang terjadi sekarang menjadi bagian dari “perang hybrid.” Jika kita berkaca pada masyarakat Argentina, contohnya, suasananya berbeda saat Leopoldo Galtieri berjuang memperebutkan Falkland pada 1982. Sebab, saat ini, pemimpin di sana berperang untuk menyelamatkan ekonomi dalam negeri, yang justeru lebih penting bagi pemimpin Argentina Javier Milei.

Atau Trump, yang ingin mengembalikan America agar great again, dengan berharap permakluman bahwa apa yang dilakukannya menjadi bagian untuk mengembalikan kejayaan negaranya di mata dunia. Yang juga tak kalah menarik adalah bagaimana sikap negara lain yang menjadi imbas dari kebijakannya.

Dalam berbagai peristiwa dunia tersebut, tak bisa dijustifikasi hal itu secara hitam dan putih. Karena secara relatif semua negara memiliki alasan pembenaran melakukan kebijakannya. Dan rakyat menjadi bagian utama yang harus dibela dan diselamatkan.

“Perang hybrid” menjadikan setiap pemimpin berbagai negara memiliki alasan untuk menerapkan sistem kebangsaan dan menerapkan nilai nilai kepahlawanan didalam negaranya. Tidak terkecuali Presiden Prabowo yang membakar semangat masyarakat.

Intinya, pengejawantahan manifestasi baru tentang kepahlawanan tidak saja dibutuhkan, tapi keharusan di tengah perkembangan dunia yang sulit diduga saat ini.

Sekali lagi, mari kita mengutip secuil kalimat dari novel biografi Michael Lewis yang berjudul “The Big Short: Inside the Doomsday Machine” yang berisi kisah nyata situasi krisis ekonomi America. “Berhentilah untuk memperbaiki dunia,”. Perkataan ini dilontarkan isteri manajer investasi Michael Baum saat melihat bagaimana frustasinya Baum mengekspresikan kontra batin yang berkecamuk dalam hatinya.

Tak seorangpun dituntut untuk menjadi pahlawan. Kecuali dalam hati, kita masih menyisakan space kosong untuk membiarkan sifat dan watak kepedulian untuk tumbuh dan berkembang. Meski bunganya dikelilingi duri. I’m with you Mr. President!

Penulis Aktivis Democracy Care Institute

 



Baca Juga