Oleh Khaidir Asmuni
Implementasi Inpres No.1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 (terutama point keempat) menjadi tantangan, bahkan ujian, bagi para kepala daerah dan masyarakat untuk memahami arti penting solidaritas kebangsaan dan ketahanan nasional.
Inpres yang bertujuan melakukan penghematan anggaran nasional hingga Rp306,69 triliun menyasar delapan pihak yang diberi instruksi oleh Presiden Prabowo termasuk para gubernur, dan para bupati/wali kota.
Inpres ini juga bertujuan mengantisipasi masalah bangsa yang membutuhkan semangat juang dan disiplin serta wawasan nusantara, wawasan geopolitik regional maupun internasional. Presiden Prabowo Subianto sebagai pucuk pimpinan tertinggi telah memberikan contoh terkait dibutuhkannya karakter kebangsaan dalam menyelesaikan masalah bangsa.
Sikap karakter kebangsaan itu diharapkan menular ke para pemimpin daerah. Bekerja keras (bahkan tanpa hari libur). Strategic dalam memimpin. Berjibaku mengatasi defisit. Memperluas cakrawala mencari terobosan investasi ke mancanegara dan berbagai langkah lain yang diterapkan oleh Presiden Prabowo Subianto diharapkan “menular” ke pemimpin daerah.
Tantangan untuk hidup hemat, akan dibuktikan melalui implementasi Inpres No.1 Tahun 2025 tersebut. Yakinlah. Meski ini instruksi Presiden namun mengandung ajakan persuasif agar kepala daerah dapat memikirkan inovasi dan kreativitas dalam mencari terobosan bagi daerahnya. Baik itu terkait upaya memperluas dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), atau melibatkan kalangan swasta, dan berbagai alternatif investasi yang mungkin dapat dikembangkan oleh daerah.
Sebetulnya pemerintah daerah tidak “dilepas” begitu saja dalam mengimplementasi Inpres ini, melainkan ada bekal yang diberikan oleh pemerintah pusat. Seperti dalam program makan bergizi gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, program kesehatan dan sejumlah program lain, yang seluruhnya berorientasi pada rakyat banyak.
Artinya bahwa program-program dari pemerintah pusat yang diterapkan di daerah itu merupakan bagian dari cita-cita dan tujuan untuk menyejahterakan rakyat. Bukankah ini juga menjadi tujuan dan cita cita para kepala daerah.
Secara riil, program MBG (misalnya) bisa memberikan efek ganda. Di wilayah pedesaan, BUMDes dan koperasi akan diberdayakan sebagai pemasok bahan ke dapur-dapur program MBG. Ini akan menciptakan banyak tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah di sektor pertanian.
Efek lainnya adalah di wilayah perkotaan, UMKM akan menjadi mitra dari program MBG yang berpotensi menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan sektor tenaga kerja menjadi produktif.
UMKM ini bermain di sektor konsumsi yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional yang ditarget 8 persen.
Program lainnya yaitu swasembada pangan. Program besar ini menjadi kekuatan bangsa menuju kemandirian. Daerah daerah di Indonesia memiliki tantangan untuk menginventarisir lahan tidur dan berbagai potensi lainnya agar Indonesia dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Program swasembada pangan juga membuka kesempatan kerja terutama bagi generasi muda. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membuat program Brigade Swasembada Pangan atau Brigade Pangan untuk mempercepat swasembada pangan, yang ditargetkan Presiden Prabowo tercapai dalam tiga tahun atau 2027. Brigade Pangan diklaim sudah ada 23 ribu orang mendaftar. Mereka akan ditempatkan secara bertahap sesuai dengan jumlah sarana dan lahan yang tersedia.
Swasembada pangan menjadi bagian dari sistem pertahanan dan keamanan negara yang juga menjadi upaya menjamin kelangsungan eksistensi suatu negara.
Tidak terkecuali dengan swasembada energi. Saat ini, banyak negara di dunia harus melakukan rekonstruksi pembangunan dalam negerinya karena persoalan pangan dan energi. Uni Eropa yang memiliki ketergantungan energi dengan dunia luar harus juga mengubah kebijakan regionalnya karena harus berjibaku mengatasi kebutuhan energi.
Presiden Prabowo juga mengingatkan bahwa dalam situasi krisis global, negara-negara lain akan mengutamakan kepentingan domestiknya. Indonesia memiliki potensi besar mencapai swasembada energi. Dengan kekayaan sumber daya alam yang besar hal itu dapat tercapai.
Karakter kebangsaan harus dibangun untuk mewujudkan swasembada energi dan pangan. Karena untuk mewujudkannya dibutuhkan pengorbanan. Dedikasi akan dimulai dari pemahaman pentingnya solidaritas nasional untuk mewujudkannya.
Wawasan Nusantara dan Geopolitik Regional
Diskursus tentang perubahan dunia mulai dibicarakan oleh para ahli pasca Pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi global. Situasi dunia yang tidak menentu menempatkan wilayah Asia juga memiliki peran besar dalam perkembangan geopolitik internasional.
Jika di masa lalu, perang dingin (NATO dan Warsawa) berakhir dengan pecahnya Uni Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin, yang membuat analisis politik, ekonomi, bahkan ideologi dunia berubah. Sejarawan Francis Fukuyama yang terkenal dengan karyanya The End of History and The Last Man menilai akhir dari evolusi ideologi manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk pemerintahan manusia paling akhir.
Namun ini berubah. Pemikiran Fukuyama terus berkembang sampai pada karyanya “The Origin of Political Order and Political Decay“.
Publik dunia memang tak bisa memungkiri perkembangan sejumlah negara sosialis. Seperti Rusia dan China terbukti mampu beradaptasi dengan pasar bebas. Justru saat ini mereka berkembang pesat. Saat ini ideologi di dunia tidak lagi menekankan mana sistem yang lebih baik, melainkan mana yang sesuai dengan negara masing masing. Setiap negara berupaya mempertahankan kepentingan ekonomi domestiknya.
Visi internasional Presiden Prabowo yang melihat perkembangan dunia yang tidak menentu itu harus merupakan representasi kebutuhan rakyat Indonesia. Visi ini juga harus diimbangi dengan kecepatan merespons perubahan internasional dan mempersiapkan strategi dan taktik untuk menghadapi situasi itu.
Ini merupakan sisi kepemimpinan strategic dimana beliau harus merumuskan strategi persaingan di dunia internasional secara tepat.
Tantangan kepala daerah juga tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo. Mereka harus memahami kondisi geopolitik dunia yang kini terus berubah. Misalnya, pasca terpilihnya Trump, kebijakan AS membuat negara Eropa berreaksi dan menentukan sikap bersama. Konflik Palestina dan Israel masih mengalami dinamika meski terjadi gencatan senjata. Dan persoalan lainnya, termasuk tantangan negara ASEAN di Laut China Selatan.
Yang tak kalah penting, kebijakan para pemimpin di kawasan Asia yang dituntut untuk terus memantau perkembangan dunia. Indonesia sendiri harus memperkuat diri agar dapat mengantisipasi situasi apapun.
Kondisi geopolitik ini harus dipahami dalam kesatuan pandangan yang utuh antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga berbagai program yang diterapkan dipahami sebagai satu kesatuan pertahanan nasional.
Kepala daerah tidak tabu untuk memahami mengapa Indonesia memperkuat diri dengan berbagai alutsista modern dan canggih terutama dengan kondisi regional yang sulit diduga.
Presiden Prabowo memahami kondisi ini. Dari berbagai lawatan ke luar negeri, salah satu upaya yang dilakukan adalah juga membangun komunikasi, hubungan baik dan jaringan serta menggalang investasi dengan negara-negara tetangga. Tidak terkecuali dengan jaringan perdagangan ekonomi seperti BRICS maupun OECD.
Dari penjelasan di atas, layak dipahami bahwa kebangkitan Indonesia di atas pondasi ideologi kebangsaan yang kokoh. Dengan cara ini, setiap rencana optimistis akan berhasil karena didasari oleh sikap kebersamaan dan solidaritas nasional seluruh rakyat yang berada di belakang Presiden Prabowo Subianto. Untuk bangkit, tidak ada kata lain bagi Indonesia, selain bersatu.
Wawasan nusantara dan pemahaman terhadap geopolitik regional maupun internasional ini menjadi bekal untuk menghadapi berbagai persoalan bangsa. Termasuk juga pagar laut yang ada di Tangerang, yang menjadi bagian dari ketahanan nasional. Kita akan menyadari bahwa penyelesaian persoalan di sana tidak hanya bersifat politis atau hukum tetapi juga menyadari bawah laut memang tidak bisa diganggu. (*)
Penulis aktivis Democracy Care Institute