Oleh Khaidir Asmuni
Noverisman Subing hengkang dari PKB dan dia kembali ke partai Golkar yang pernah mendudukannya sebagai Wakil Bupati Lampung Timur beberapa tahun silam.
Hengkangnya Nover ini menjadi diskusi yang menarik. Pertama, indikasi adanya kecenderungan langkah Noverisman Subing sebagai akumulasi dari konfigurasi kandidasi pilkada serentak di Lampung Timur.
Akumulasi tersebut bisa dilihat dari pertarungan sengit dalam mendapatkan rekomendasi PKB.
Apabila hengkangnya Nover dikaitkan dengan persoalan kandidasi Pilkada maka alasan tersebut sangat pragmatis. Karena seharusnya sebagai kader PKB, Nover dituntut untuk mengikuti apa yang telah diputuskan oleh partai, nantinya.
Di satu sisi, pragmatisme yang ditunjukkan Nover memasukkannya dalam kategori “orang-orang yang kecewa”. Meski bagi Nover bukan itu alasan utama dia hengkang dari PKB.
Alasan pragmatisme ini pula yang membuat Nover akan dipandang hanya memanfaatkan partai politik sebagai batu loncatan. Meski sebetulnya dia telah dua kali menjadi anggota legislatif dari PKB.
Pertanyaannya adalah mengapa Nover tidak memberikan alasan yang lebih idealistik terkait kehengkangannya?
Kedua, ada kecenderungan bahwa Pilkada dijadikan oleh Nover menjadi arena perjuangan lanjutan pasca pileg. Kita tidak menyebut mereka yang kalah pileg. Namun ketika pertarungan lanjutan itu gagal mendapatkan perahu, maka permainan terasa selesai.
Bagi Nover, PKB telah selesai untuk perjuangan politiknya. Dan dia beralih ke Partai Golkar. Yang bisa saja dinilainya sebagai partai penguasa karena menang dalam pilpres.
Jika kita mengaitkan hengkangnya Nover dari sisi etika politik tentu saja hal ini jadi tidak menarik. Karena tinjauannya akan bersifat Hitam Putih.
Yang menarik justeru jika kita kaitkan apabila dengan konstelasi kepentingan politik yang lebih besar.
Konstelasi Nasional dan Lokal
Noverisman Subing seharusnya bersabar untuk tetap di PKB. Dalam analisa spekulatif, konstelasi nasional dalam tubuh PKB akan berbeda dengan masa sebelumnya. Nover bisa saja menanti badai di PKB untuk mendapatkan perubahan. Jika dia bersabar, maka dia dapat mengalihkan gerbong besar dan dia dapat menjadi tokoh alternatif yang punya bargaining. Dia bisa ciptakan swing voter.
Apalagi Cak Imin calon dari PKB (maaf) kalah dalam pertarungan Pilpres. Lazimnya dalam politik, badai besar akan terjadi pasca kekalahan.
Dalam politik itu “biasa”. Jika kalah, maka kepengurusan akan “terancam”. Karena menghadapi risiko politik.
Karena kita menyadari bahwa politik itu memiliki tiga hal penting selain high cost dan high conflict, yaitu high risk.
Mungkin saja di dalam pikiran Nover, dia tidak mungkin menunggu badai dalam tubuh PKB. Apalagi badai yang ditunggu ini bukan “badai dalam gelas” tapi memang badai beneran seperti di film Twister, yang dapat menimbulkan perubahan. Dan ini tentu saja tidak bisa dijamin apakah badai besar tersebut akan datang atau tidak?
Pilihannya, jika Nover bersabar bisa saja badai itu terjadi. Dan dia bisa menjadi tokoh potensial yang bisa menggantikan Chusnunia Chalim. Dan membawa gerbong besar. Bukan gerbong kosong.
Namun walaupun itu tidak terjadi maka dia bisa tetap mengabdi sebagai kader PKB yang baik, yang suatu saat akan mendapatkan penghargaan. Tokh PKB juga partai besar dengan perolehan suara konstan.
Selain konstelasi nasional tersebut, hengkangnya Nover dari PKB harusnya tidak terlalu pragmatis, melainkan bersifat idealis.
Seperti dengan melihat konstelasi pemilihan gubernur. Misalnya, wilayah Lampung Timur kekuatan PKB sangat dominan. Meski Partai Golkar tetap membayangi. Dengan jumlah suara di Lampung Timur yang sangat besar dengan penduduk yang juga besar tentu konstelasi Pilgub cukup berpengaruh. Dan banyak cagub sangat memerlukan Lampung Timur.
Idealisme Nover terkait kehengkangannya harusnya ingin memberi keseimbangan bagi kepentingan rakyat. Kita memahami bahwa platform PKB dan Golkar tentu saja memiliki ciri khas tersendiri. PKB dengan ciri tradisional modern punya kelebihan. Juga Golkar. Saat ini, kaderisasi di Golkar dipandang berhasil karena berani menonjolkan kaum muda. Jika ini yang dijadikan alasan Nover terkait kehengkangannya, maka akan jadi argumen yang lebih tepat ketimbang alasan yang pragmatis. (*)
Aktivis Democracy Care Institute (DCI)