Oleh Khaidir Asmuni
Ini sekadar masukan untuk kalangan yang mengkritisi program sawit dan selalu mengaitkannya dengan deforestasi, entah dia bertindak sebatas content creator atau (maaf) aktivis lingkungan. Biarkan masalah itu diperdebatkan secara apple to apple, antara sains vs sains. Sebab, Indonesia juga memiliki banyak peneliti sawit yang akan menyampaikan argumen terkait masalah itu.
Apabila deforestasi itu dikaitkan dengan program ketahanan pangan dan energi suatu negara, maka sifatnya sains vs negara. Tentunya, secara epistimologi hal tidak tepat. Bahkan, dikhawatirkan akan rentan terjebak kepentingan dan persaingan dagang yang jauh dari relevansi mencintai lingkungan. Oleh sebab itu, maaf, aktivis lingkungan hidup seyogianya menempatkan diri di posisi yang lebih menekankan pada action bukan dengan retorika. Apalagi terhadap sesuatu yang belum terjadi.
Deforestasi harus dijawab dengan reboisasi. Hilangnya satu pohon diganti pohon lain dan itu dilakukan oleh aktivis lingkungan. Sampah plastik dijawab dengan pembersihan sampah. Bukan membuat wacana perdebatan yang menjadi lahan kalangan ilmuwan. Silakan melakukan pencegahan dengan retorika. Tapi seyogianya dilakukan proporsional dan tidak dengan kaca mata kuda.
Mencampuradukkan hasil penelitian tentang kehutanan, lingkungan hidup dengan kebijakan suatu negara tanpa mengindahkan second opinion merupakan bentuk framing yang menyudutkan. Bahkan termasuk sikap arogan. Termasuk tudingan deforestasi yang dilakukan atas nama sains.
Alasannya, pertama, tudingan deforestasi itu bertindak seperti hakim. Padahal, tidak semua hasil sains atau pemikiran terkait dengan sains itu akan sesuai dengan apa yang harus dilakukan oleh suatu negara. Terkadang sama sekali berbeda. Kita harusnya belajar dari peristiwa Pandemi Covid-19, dimana dilema sebuah negara untuk melakukan lock down tidak sama.
Negara yang memiliki kekuatan pendanaan yang besar dapat melakukan lock down dengan menginstruksikan warganya untuk tetap di rumah sampai waktu tertentu. Sementara, tidak semua negara memiliki kemampuan melakukan itu. Lockdown di satu sisi akan mematikan perekonomian masyarakat dan itu tidak berbeda dengan ancaman pandemi Covid-19 yang sama sama mematikan. Perekonomian saat ini juga menyangkut hidup mati bagi suatu negara.
Jika kita berpikir tentang keberpihakan sains terhadap melakukan Lockdown atau tidak, tentu saja mereka akan berpihak kepada lockdown. Namun bagaimana dengan negara yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan Lockdown secara penuh? Apakah harus dihukum dan dituding, dikecam dengan mengatasnamakan Sains?
Kedua, sains tidaklah bergerak bebas. Tapi harus dijaga dan diawasi secara etika dan moral. Di bidang biologi dan kedokteran ada aturan mengenai kloning dan penelitian yang menjaga kemanusiaan. Di bidang teknologi juga harus memikirkan bagaimana sisi kemanusiaan, moral dan etis. Mengapa teknologi itu harus diciptakan. Semua harus dikawal secara moral.
Semula kita berpikir bahwa diciptakannya Drone adalah untuk hal-hal yang bersifat positif. Drone bermanfaat untuk kehidupan umat manusia. Namun dalam perkembangannya, tanpa diawasi dengan itikad baik dan moral yang baik, Drone yang dipersenjatai justru sangat berbahaya dan menjadi senjata yang sangat ditakuti saat ini.
Hal ini juga berlaku terhadap hasil penelitian ilmu pengetahuan yang lain. Tidak terkecuali kehutanan dan lingkungan dengan mengedepankan sikap objektif dan proporsional. Memahami secara menyeluruh benturan benturan yang mungkin terjadi antara persoalan moral lingkungan dengan hidup mati suatu negara dalam ekonomi dan pangan. Keduanya sama sama memiliki alasan universal. Namun tidak bisa disikapi dengan sikap arogan.
Ketiga, moralitas yang seharusnya berlaku universal saat ini tengah diuji dengan berbagai peristiwa yang dilatarbelakangi oleh perubahan dunia. Sains tidak bisa mengklaim diri sebagai arbitrase dalam penegakan etika dan moral karena berada dalam kamar berbeda. Sains adalah sains. Etika dan moral lebih tinggi posisinya dari sains terutama menyangkut hakikat kehidupan manusia. Alfred Noble sekalipun akan menyesal penemuannya digunakan untuk membunuh. Ini juga yang melatarbelakangi hadirnya hadiah Noble.
Universalitas moral saat ini jadi sangat relatif. Pasalnya tidak ada polisi universal yang bisa memberikan sanksi karena definisi dan pemahamannya sudah demikian berubah. Kebenaran didekonstruksi. Semu. Realitas terpecah. Post truth mewabah. Kemajuan teknologi dikembalikan kepada masyarakat untuk menyikapinya.
Masyarakat dengan mudah mencari kebenaran dan ilmu pengetahuan melalui chat GPT (Generative Pre-training Transformer) atau browsing google. Hal ini seolah menggantikan referensi manusia sebagai tempat mencari kebenaran.
Sikap kecintaan terhadap lingkungan hidup menjadi bagian dari moralitas yang universal yang bisa dipegang selamanya sejauh itu menyangkut kepentingan umat manusia. Namun dengan perkembangan dunia yang berubah saat ini, kita sudah tidak bisa lagi. membedakan mana yang sebetulnya mewakili suara-suara kecintaan terhadap lingkungan Itu. Karena setiap negara memiliki kepentingan terkait dengan isu isu lingkungan.
Deforestasi sebetulnya isu sensitif. Dia bisa menjadi senjata untuk memukul. Padahal, Indonesia bukanlah suatu negara yang ingin merusak lingkungan dunia. Dinamika kehidupan yang berjalan membuat kita yang memiliki jumlah penduduk nomor 4 terbesar di dunia harus menjawab tantangan pangan dan energi. Sementara isu lingkungan yang ditakuti sudah terdramatisir sedemikian rupa.
Pemimpin kita, terutama Presiden Prabowo, memiliki tanggung jawab yang besar ke depan karena tidak bisa dijamin bagaimana masa depan umat manusia saat ini dengan berbagai perkembangannya. Kehidupan yang tidak saja sulit tapi juga bisa rentan memicu konflik antar negara.
Hasil penelitian tentang tanaman sawit harus fair, harus diimbangi dengan second opinion terhadap hidup mati suatu negara dalam mempertahankan pangan dan energi. Di Indonesia sendiri sudah banyak lembaga penelitian tentang sawit, yang seyogianya menjadi referensi berimbang. Sehingga terjadi wacana yang bersifat Sains vs Sains. Bukan menggunakan sains sebagai senjata untuk propaganda ekonomi. (*)
Aktivis Democracy Care Instutute