Selasa, 25 Mar 2025
Opini

Indonesia Terang: Kita Berada di Bawah Matahari yang Sama, Mengapa Berbeda Melihat Terang dan Gelap?

Oleh Khaidir Asmuni

Penguatan literasi tentang program yang dianggap baru oleh masyarakat seyogianya terus kita lakukan bersama. Seperti program makan bergizi gratis (MBG), efisiensi anggaran, BPI Danantara, Bank Emas hingga regulasi tentang devisa hasil ekspor (DHE) serta program lainnya. Program-program tersebut membutuhkan pengayaan literasi agar dipahami benar sebagai program yang berpihak kepada rakyat.

Dengan penguatan literasi diharapkan ada cara pandang yang sama terhadap kemajuan yang dicapai oleh Indonesia. Kita hidup di bawah matahari yang sama. Tapi mengapa di sini bercahaya terang benderang sementara di sana menganggapnya gelap?

MBG, misalnya, yang terdistorsi karena dibenturkan dengan pendidikan, padahal keduanya merupakan dua bagian yang terintegrasi.

Kurangnya literasi membuat ada siswa berpakaian putih biru (siswa SMP) di suatu daerah di Indonesia berunjuk rasa menuntut pendidikan gratis yang dibenturkan dengan program MBG. Padahal, sejak 1984 Indonesia telah mencanangkan Wajib Belajar 9 tahun dan pada 2008 kita sudah ada PP Nomor 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar 9 tahun, dimana pemerintah menyatakan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTS) dilaksanakan tanpa pungut biaya. Jadi yang dituntut siswa SMP tersebut terkait pendidikan gratis itu yang mana?

MBG bukanlah program kaleng kaleng. Selain memiliki misi pendidikan untuk menciptakan fisik yang sehat dan perkembangan sel otak yang baik bagi generasi mendatang, juga memiliki misi ekonomi rakyat.

Skenario terbaik implementasi program MBG adalah merealisasikan apa yang diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto bahwa program ini akan membuat peredaran uang di desa mencapai Rp8 miliar per tahun. Dengan uang tersebut akan banyak multiplier effect yang terjadi di desa terutama untuk membangkitkan perekonomian. Dari BUMDes, koperasi dan UMKM dapat terus digerakkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Program lainnya, seperti efisiensi anggaran juga terdistorsi oleh kekurangan literasi tentang maksud baik pemerintah. Padahal, efisiensi tidak terjadi di bea siswa pendidikan, operasional sehari hari, atau gaji. Tapi pada hal hal yang bersifat pemborosan.

Pada tingkat tertinggi efisiensi adalah presisi. Misalnya, mengukur kebutuhan penggunaan ATK atau penggunaan sarana transportasi agar mendapatkan gambaran yang riil tentang kebutuhan yang sebenarnya. Maka pengukuran itu seyogianya presisi dan tidak boros. Tepat penggunaannya dengan menghindari hitungan yang tidak akurat serta tidak sesuai dengan nilai sesunguhnya. Untuk mencapai hasil maksimal, antara presisi dan akurasi kebutuhan memang harus terus dievaluasi hingga mencapai titik presisi. Jika efisiensi telah menjadi gaya hidup dan membiologis dalam diri kita, maka dia akan menjadi budaya. Dan kita akan malu jika bersikap boros. Tentunya untuk mencapai ini, harus ada keikhlasan dari dalam diri kita untuk menerapkannya. Karena menjadi bagian dari peradaban maju. 

Adalah keliru jika ditanyakan sampai kapan efisiensi itu dilakukan. Tentunya dia tidak terikat waktu. Karena jika efisiensi telah mencapai titik presisi, maka dia bisa diterapkan secara permanen.

Apabila kita menginginkan kesejahteraan, bukanlah dengan mengorbankan budaya efisiensi yang telah terbentuk, melainkan ada pintu lain yang akan memberi kita kesejahteraan. Misalnya dengan kenaikan gaji, tunjangan, ataupun tunjangan kinerja.

Secara epistimologi, kita bisa memahami efisiensi dengan melakukan tugas profesional secara hemat waktu, tenaga, atau biaya. Dengan menerapkan perbandingan pengeluaran dan masukan yang akan kita dapatkan.

Program lain adalah BPI Danantara. Niat mulia dari pendirian Danantara jangan sampai terdistorsi oleh wawasan sempit karena mengkaji persoalan bussiness jugment rule yang kurang mendalam. Ada regulasi intrinsik dalam implementasi bisnis di Danantara yang membutuhkan pemahaman bijaksana. Sebab telah masuk dalam ruang bisnis yang pengawasannya dilakukan oleh audit tersendiri melalui kantor audit yang ditunjuk oleh BPK.

Mengacu pada penjelasan Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro, BPI Danantara memberi peluang untuk meraih investasi dan kesempatan melakukan laverage. Juga karena para investor menginginkan hubungan bussiness to bussines (B to B) bukan bussines to BUMN (yang berbau pemerintah) ketika mereka ingin berinvestasi.

Dari keinginan investor itu, cara yang paling relevan ditempuh adalah membuat kekayaan BUMN terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas. 

Dengan memahami ini, maka persoalan bussiness jugment rule yang disebut tak bisa diperiksa oleh BPK ataupun KPK akan makin jelas. Yang harus diperkuat adalah transparansi dan pengawasannya agar sesuai dengan tujuan mulia pendiriannya. Apalagi ada peluang membuka joint venture melalui sistem FDI (foreign direct investment).

Pintu untuk investasi yang lain adalah Indonesia Investment Authority (INA) yang berada di bawah Kemenkeu. Jika INA dimasukkan ke dalam Danantara, menjadi salah satu bagian dari 3 pilar Danantara, maka konsekuensinya adalah di Danantara tidak hanya BUMN. Karena INA sebelumnya ada di bawah kementerian keuangan (bukan BUMN). Aturan main dari INA dalam investasi pun ada sendiri. Dia berdasarkan Forum of Sovereign Wealth Funds (IFSWF), kelompok internasional nonprofit pengelola dana kekayaan negara yang didirikan pada tahun 2009.

Aturan main dalam IFSWF ada dalam prinsip Santiago.

Prinsip-prinsip ini merupakan pedoman yang harus diikuti oleh manajemen dana kekayaan negara untuk menjaga sistem keuangan yang stabil , kontrol yang tepat terhadap risiko, regulasi, dan struktur tata kelola yang baik.

Sebagai badan baru, perjalanan yang akan ditempuh BP Danantara harus didukung literasi yang memadai agar dipahami oleh masyarakat. Apalagi dengan adanya niat tulus Presiden Prabowo Subianto untuk membangun landasan finansial bagi generasi mendatang. Niat ini jangan sampai dibelokkan dengan kurangnya literasi tentang badan ini. Sehingga melenceng jauh hingga isu penarikan uang dari bank oleh masyarakat.

Pembentukan Danantara untuk membangun kemandirian, menciptakan mentalitas untuk tidak bergantung pada kekuatan luar. Kita memang perlu memperdalam literasi tentang ini agar menyadari benar mengapa Danantara relevan dibuat dan layak disebut sebagai sebuah terobosan di tengah deraan kesulitan ekonomi yang menimpa semua negara di dunia.

Kita juga akan memahami bahwa Presiden Prabowo membuka diri terhadap investasi (termasuk investasi asing) tapi tetap mempertahankan essensi dan substansi pasal 33 UUD 45. Danantara merupakan program kebanggaan yang harus kita jaga dan awasi bersama.

Program lainnya adalah bank emas, yang telah diumumkan oleh Presiden Prabowo diluncurkan pada 26 Februari 2025. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, bank emas akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp 245 triliun. Masyarakat bisa melakukan beberapa transaksi, mulai dari penitipan emas, perdagangan emas, simpanan emas dan pembiayaan emas.

Selain itu, bank emas berpotensi menciptakan sekitar 800 ribu lapangan kerja.

Kemudian, terkait program Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diatur PP Nomor 8 Tahun 2025, pemerintah menetapkan bahwa eksportir di sektor pertambangan (kecuali minyak dan gas bumi), perkebunan, kehutanan, dan perikanan wajib menempatkan 100 persen DHE SDA dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan dalam rekening khusus di bank nasional.

Kita juga tidak perlu berlebihan dalam kekhawatiran terhadap fleksibilitas cashflow pengusaha. Sebab Bank Indonesia juga menyiapkan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

Diperkirakan cadangan devisa akan bertambah melalui DHE. Jika berlaku mulai 1 Maret, kalau lengkap 12 bulan hasilnya diperkirakan akan lebih dari 100 miliar dolar AS.

Dari penjelasan di atas, kita makin menyadari bahwa sepuluh tahun ke depan merupakan tahun-tahun penting bangsa Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Penguatan literasi merupakan bagian dari budaya akademik yang layak dikembangkan oleh mahasiswa. Wacana yang diperdebatkan diharapkan tidak lagi berdasarkan hal-hal yang bersifat emosional ataupun holding a grudge, melainkan memang berlatar belakang akademis yang memiliki alasan rasional untuk diungkapkan. Sikap kritis terus dibangun dalam negara demokrasi yang memberikan ruang untuk berunjuk rasa. Hal ini menjadi bagian dari apresiasi menciptakan komunikasi yang baik dan jangan anarkis.

Di usia pemerintahan Prabowo yang baru satu kwartal, kondisi perekonomian Indonesia terang benderang. Cerah.

Kebijakan ekonomi kwartal pertama yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 17 Februari 2025 lalu menunjukan kondisi Indonesia bercahaya terang. Bahkan, sejumlah kebijakan memang ditunggu masyarakat menjelang Bulan Puasa dan Lebaran.

Sejumlah kebijakan seperti pencairan THR bagi ASN dan Pekerja Swasta di bulan Maret 2025, Stimulus Diskon Harga Tiket Pesawat, Diskon Tarif TOL, Program EPIC Sales 2025, dan BINA Diskon 2025.

Juga Program Pariwisata Mudik Lebaran, Stabilisasi Harga Pangan dan sejumlah program lain membuktikan kerja keras pemerintah untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat. Hal ini juga menjadi upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Saat ini, Indonesia memang tengah berjuang dalam mengantisipasi krisis ekonomi yang melanda dunia dan berbagai perkembangan geopolitik yang tidak menentu. Di bawah matahari yang sama, kita punya penerangan yang sama. Sudut pandang yang berbeda akan memperkaya. Tapi sudut pandang yang sempit harus kita perluas dengan penguatan literasi. Di sana kita akan buktikan bahwa Indonesia ternyata terang.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Prabowo bersifat populis-teknokratis yang cerdas (langsung ke rakyat), mitigasi krisis dilakukan dengan banyak terobosan agar dapat melakukan recovery ekonomi Sektor konsumsi dijaga, inflasi terus diawasi.

Kita melihat defisit tak hanya dari aspek untuk mengatasinya. Tapi sudah jauh ke depan melakukan peningkatan kualitas belanja yang lebih produktif. (*)

Penulis Aktivis Democracy Care Institute

 



Baca Juga