Oleh Khaidir Asmuni
Sawit Indonesia saat ini terdistorsi isu deforestasi. Padahal itu bukan deforestasi karena ada pohon sawit yang ditanam di sana. Lagi pula, policy yang dilakukan Indonesia tidak hanya mengandalkan ekstensifikasi tetapi juga intensifikasi. Jadi ada revitalisasi lahan yang dulunya sudah rusak atau bekas pertambangan atau lahan tidur diperbaiki. Ini malah justru memperbaiki lingkungan. Jadi bukan narasi deforestasi yang dikembangkan saat bangsa kita mau bangkit menuju swasembada.
Narasi yang terdistorsi itu menempatkan pohon kelapa sawit seolah jadi “terdakwa.” Sejak kapan pohon kelapa sawit dinilai sebagai perusak lingkungan? Dia memiliki daun yang hijau dan dia pohon. Dia punya akar dan dia anugerah yang diberikan Tuhan untuk bangsa Indonesia. Daun sawit bisa digunakan untuk pakan ternak di banyak daerah. Banyak sapi yang diintegrasikan dengan kebun kelapa sawit dan berkembang dengan sangat baik.
Narasi yang lebih halus sebetulnya dengan menggunakan istilah Indonesia akan membuat “palm trees forest” yang digunakan untuk program swasembada energi dan pangan. Dengan kalimat ini, kita bisa memperjelas lebih jauh dengan argumentasi yang kuat mengapa hal itu harus dilakukan. Jika ada yang menyebut sawit tidak termasuk tanaman hutan, itu masalah lain. Tapi intinya, sawit mampu menyerap karbon.
Penggunaan istilah “palm trees forest” tersebut bisa menjawab tudingan yang dilancarkan negara lain, termasuk European Deforestation Regulation (EUDR).
Seperti diketahui, Uni Eropa menilai kelapa sawit sebagai salah satu komoditas berisiko tinggi pada lingkungan. Itu dituangkan dalam aturan bebas deforestasi Uni Eropa.
Istilah Deforestasi yang disasar ke sawit Indonesia tidaklah tepat. Istilah itu seolah kita dalam posisi telah melakukan kesalahan. Padahal tidak.
Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) mencatat kebijakan EUDR adalah sinyal jika Uni Eropa tidak mampu menyaingi minyak sawit. Dibanding minyak nabati non sawit yang diproduksi Eropa, sawit lebih kompetitif.
Oleh sebab itu, diterapkan strategi dari price competition kepada non price competition karena produsen minyak nabati non sawit tidak bisa bersaing. Maka, isu yang digunakan adalah isu sustainability baik sosial, ekonomi, dan lingkungan. “Padahal, industri sawit Indonesia berkomitmen terhadap sustainability,” ungkap Dr. Ir. Tungkot Sipayung salah satu petinggi PASPI.
Saatnya dunia internasional bersikap demokratis terhadap sawit Indonesia. Cara-cara seperti ancaman atau menolak membeli sawit Indonesia itu dengan alasan deforestasi sudah tidak relevan lagi di era perubahan global dan situasi ekonomi yang tidak menentu saat ini.
Kita tidaklah mengajak perang negara lain. Kita juga tidak menginvasi. Kita juga tidak membuat keributan secara internasional. Sehingga tidaklah demokratis apabila mendapatkan ancaman-ancaman yang seolah kita telah melakukan suatu hal yang buruk.
Sementara kita tahu. Saat ini, di setiap negara di dunia memiliki kebijakan sendiri untuk melindungi rakyatnya. China bahkan menyiapkan 87000 aparat keamanan pertanian untuk mengamankan ketahanan pangannya.
Juga Amerika Serikat yang terus berupaya menciptakan gandum tahan cuaca untuk menghadapi perubahan iklim. Russia bahkan lebih gencar, terutama saat perang melawan Ukraina. Para pengamat bahkan menyebut pangan sebagai “silent weapon” bagi Rusia dalam perang itu.
Sebagai rakyat, kita merinding. mendengar pernyataan Presiden Prabowo tentang sawit.
“Eropa kan mau batasi. Sekarang bingung sendiri, saya bilang, ‘oh terima kasih, kita tidak jual ke Anda’, terima kasih,” ujar Presiden Prabowo saat memberikan arahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) dalam Rangka Pelaksanaan RPJMN 2025-2029, Senin, 30 Desember 2024.
Intinya, jika mereka menolak hasil sawit kita, maka kita akan manfaatkan sendiri. Kita pakai sendiri.
Apa yang diperjuangkan oleh Presiden Prabowo terkait Swasembada energi dan pangan merupakan upaya untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Apalagi dengan situasi perang di berbagai negara, ancaman pangan dan resesi ekonomi. Hal ini juga dilakukan negara lain.
Program Swasembada Energi Indonesia Terus Move On
Saat ini, Program Swasembada Energi melalui tanaman kelapa sawit terus berlanjut. Bahkan telah masuk ke tahap action.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga telah melakukan uji coba dan soft launching implementasi biodiesel B50. Hasilnya memuaskan.
Keberhasilan bio diesel ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM). Juga, meningkatkan nilai tambah bagi sektor pertanian, serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kita menyadari, untuk melaksanakan program menuju Swasembada pangan dan energi melalui sawit memang dibutuhkan modal, teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Namun, karena di Indonesia baru terjadi circulation of leadership, ada hal yang sangat penting dan menjadi faktor signifikan terlaksananya program itu. Yaitu kepercayaan dan keyakinan rakyat pada Presiden Prabowo. Ketegasan dan konsistensi Presiden inilah yang membuat masyarakat yakin bahwa program tersebut akan terlaksana.
Jika ada yang khawatir dengan hasil kayu yang dihasilkan dari proses menuju pembuatan lahan sawit baru itu akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka pertaruhannya adalah nama besar Presiden Prabowo. Jadi kita berharap tidak ada permainan dari hasil kayu dalam proses menuju ke pembukaan palm forest itu.
Secara umum, juga ada kalangan yang menginginkan dibuatnya regulasi yang kokoh tentang sawit. Juga, mendorong terjadinya hilirisasi agar UMKM dapat mengambil peran. Juga bisa dibuat Desa Tematik Sawit yang mengintegrasikan kebun sawit dan ternak sapi.
Berbagai usulan ataupun gagasan yang muncul di masyarakat ini intinya menginginkan bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia itu benar-benar dapat menyentuh masyarakat secara luas. Bahkan masyarakat dilibatkan partisipasinya terhadap pengembangan sawit itu (seperti hilirisasi UMKM). Sehingga tidak bersifat lebih menguntungkan pengusaha pengusaha. Melainkan hadirnya negara dan keterlibatan pemerintah agar pengelolaan kelapa sawit itu benar benar sesuai dengan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. (*)
Aktivis Democracy Care Institute