Oleh Khaidir Asmuni
Ada situasi yang tak terhindarkan yang membuat defisit anggaran menjadi sebuah keniscayaan. Dia sepertinya selalu ada. It’s always there. Bagai mitos yang jadi mutant realitas. Sehingga para pemimpin harus bersikap bijaksana (prudent) dan hati hati.
Pengendalian defisit anggaran yang akan dilakukan oleh pemerintah Mirza- Jihan akan berjalan baik dan lancar. Jika secara nasional, Presiden Prabowo Subianto optimistik dapat mengendalikan defisit secara bijaksana dan hati hati, maka Mirza- Jihan akan dapat melakukan hal yang sama.
Kita memang harus berhati-hati jika menggunakan istilah “pailit” terkait dengan defisit anggaran ini, seperti yang diberitakan sebuah media online. Karena hal tersebut selain sangat berbeda juga masing-masing memiliki aturan hukum. Pada Pasal 50 UU 1/2004, yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, menyebut bahwa negara tidak bisa dinyatakan pailit, karena pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap aset negara. Hal ini perlu digarisbawahi agar tidak terjadi kesalahpahaman terkait mengaitkan defisit anggaran dengan istilah pailit.
Bagaimanapun juga sejumlah teori mengenai defisit anggaran menunjukkan bahwa hal itu merupakan bagian dari dinamika sirkulasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia. Yang harus diingat adalah negara atau pemerintah itu tidak bisa disalahkan. Yang bisa disalahkan adalah personal-personal yang ada di dalam pemerintahan itu.
Mengapa defisit anggaran disebut dinamika?
Pertama, situasi dunia yang berubah pasca pandemi Covid-19 yang menyebabkan resesi ekonomi global dan perubahan peta geo politik, membuat masalah keuangan menimpa semua negara di dunia. Defisit anggaran menjadi kata gaul yang halus. Bukan seperti hantu dalam A Nightmare on Elm Street yang mengganggu tidur, tetapi menjadi tantangan yang harus dikendalikan.
Pengendalian defisit pun menjadi sesuatu yang telah membiologis dalam budaya pemerintahan. Seperti belajar naik sepeda, yang makin lama makin lancar dalam berlatih. Dan lama lama biasa.
Itulah sebabnya, kita mungkin sering bertanya-tanya mengapa Menkeu Sri Mulyani bisa menjadi menteri keuangan dalam jangka waktu yang panjang, seolah tidak terpengaruh dengan pergantian pemimpin. Bisa saja jawabnya selain memang sudah lancar bersepeda mengarungi defisit anggaran, juga sudah kenal medan baik dengan iklim, cuaca, hujan, panas atau badai hingga lembaga-lembaga keuangan internasional. Sehingga untuk mengatasi masalah defisit anggaran beliau sudah tau kapan mengayuh dan menarik rem.
Meskipun tidak selamanya terjadi defisit, karena banyak juga daerah yang juga mengalami surplus anggaran. Dan ini yang harus dipelajari. Bagaimana APBD bisa surplus.
Kedua, istilah defisit anggaran seyogianya dipahami secara proporsional, fair dan bijaksana, karena kita pahami bahwa defisit ini terjadi dan merupakan “raport lama” dari pemerintahan sebelumnya. Oleh sebab itu, tidaklah fair apabila ini digambarkan sebagai kesalahan kepemimpinan yang baru. Atau kepemimpinan baru akan terus menyalahkan kepemimpinan lama yang menimbulkan rasa dongkol karena membuat anggaran menjadi defisit. Bukan itu tentunya. Itu sangat tidak produktif.
Hanya, jika masalah defisit anggaran diberitakan media seperti woro woro, persepsi masyarakat akan lain Seolah menguji kepiawaian kepemimpinan baru dengan tujuan membentuk pesimisme.
Padahal, gambaran defisit yang diceritakan sejumlah media online itu sesungguhnya jauh panggang dari api. Sikap yang muncul justru optimistik. Tidak scary. Ini bisa dibuktikan dengan anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah pusat tahun 2025 Rp31,81 triliun.
Terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) sebesar Rp 8,76 triliun dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 23,05 trilun. Jumlah ini justru naik sebesar Rp792,08 miliar dari tahun 2024 yang hanya mencapai Rp22,26 triliun.
Ketiga, sebetulnya jika ada hal hal yang belum selesai di Pemerintahan terdahulu, seperti ada pihak pihak yang belum dibayar karena defisit anggaran, sebaiknya dipelajari bentuk perjanjian yang dulu dilaksanakan. Hal ini telah masuk ke bahasa hukum. Sehingga dapat dilihat secara jernih hal hal yang harus dilakukan.
Kalau kita mau jujur, terkait persoalan lama yang belum selesai itu, bukanlah suatu beban yang harus ditanggung pemerintahan baru. Melainkan karena adanya komitmen dan rasa tanggung jawab terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Istilah ini justeru lebih profesional daripada menyebutnya beban ke pemerintahan baru.
Perketat Pengawasan
Ada yang lebih penting jika kita melihat masalah defisit anggaran ini dengan kacamata proyeksi waktu ke depan. Jadi tidak melulu melihatnya dari sisi masa lalu. Yaitu bagaimana defisit anggaran dan kebocoran itu tidak menjadi suatu yang terulang dan menjelma jadi suatu keniscayaan. Dia harus kita usir. Karena dia bukan mitos yang jadi nyata.
Pemerintahan Presiden Prabowo tampaknya mencoba untuk menghilangkan budaya defisit anggaran itu. Salah satu upayanya adalah memperkuat terlebih dahulu pengawasan audit internal seperti yang dilakukan oleh BPKP.
BPKP Lampung, dalam acara Eksekutif Meeting Evaluasi Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah Tahun 2025, mencatat pentingnya mengkonvergensikan perencanaan dan penganggaran lintas sektor serta sinergi dan kolaborasi yang tepat dalam pelaksanaannya.
Tujuan tidak mungkin dapat dicapai hanya satu pihak saja atau dalam hal ini oleh satu instansi pemerintah di Provinsi Lampung dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) saja, sehingga harus didukung dengan perencanaan yang konvergen dan memadai di daerah yang nantinya akan dituangkan dalam RPJMD.
Oleh sebab itu, harus diperhatikan program yang menjadi prioritas, perencanaan yang tepat dan relevan dengan target kinerja yang diharapkan melalui program dan kegiatan yang konkrit dan tepat sasaran.
Apa yang dilakukan BPKP ini (yang memiliki peran sebagai internal auditor Presiden) merupakan tindak lanjut arahan Presiden Prabowo pada Rakornas di Sentul 7 November 2024 lalu.
Tindak lanjut tersebut sesuai Asta Cita Prioritas Pembangunan Nasional dalam RPJMN Tahun 2025-2029 yang mengamanahkan pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional diantaranya: Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebesar 8%; Pengentasan kemiskinan target 2029 turun menjadi 4,5% dan kemiskinan ekstrem menjadi 0% tahun 2026; serta Peningkatan kualitas SDM Indeks Modal Manusia (Human Capital Index) meningkat 0,59% pada tahun 2029.
Evaluasi dalam Perencanaan dan Penganggaran ini diharapkan dapat memberikan masukan terkait langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk pencapaian ultimate outcome atas sektor yang dievaluasi, sebab-sebab mendasar yang dapat mengakibatkan pencapaian tujuan tidak efektif dan efisien serta peringatan dini atas keterjadian fraud. (Bersambung)
Penulis aktivis Democracy Care Institute