Selasa, 8 Okt 2024
Opini

Go to Hell with Your Endorsement!

Oleh: Khaidir Asmuni

Jika seorang calon Kada memiliki kekuatan branding pembelaan atau brand advocate yang tinggi dari para pendukungnya. Dan memiliki masa pendukung yang terukur baik dari basis massa yang jelas, kartu anggota yang penyebarannya terkawal mesin partai dan relawan, serta penguasaan teritorial yang mumpuni, endorsement sebetulnya jadi pelengkap yang memperindah.

Namun harus disadari, endorsement yang berkualitas subjeknya bukan untuk tujuan partisan tetapi substansi dan esensinya yang dibutuhkan untuk dapat memecahkan masalah.

Sehingga, ukurannya nilai (moral). Bukan karena unsur kedekatan Calon Kada dengan sang endorse secara pribadi.

Terkadang endorsement tidak relevan dengan situasi dan suasana batin masyarakat (baca: komunitas). 

Baru baru ini, viral, saat Anang menyanyikan lagu pada laga Timnas melawan Filipina yang justeru disoraki. Hal “memalukan” ini menunjukkan adanya pergeseran pandangan masyarakat terhadap figur endorsement.

Yang lebih baik adalah melihat kekuatan yang ada dalam diri calon (inner power). Ini justeru bisa mendapat simpati luas. Ingatlah calon Kada yang memiliki brand advocate sangat kuat. Karena brand advocate lebih tinggi statusnya dari influencer.

Saat ingin meraih suara yang sangat besar dari Gen Z atau Milineal pun pendekatan calon Kada sangat menentukan. Coraknya komunikasi dua arah dengan menjalin solidaritas terhadap komunitas tersebut. 

Kita ingat saat Gabriel Boric dalam pemilihan Presiden Chili mendekati masa pendukung anak muda yang umumnya rata-rata adalah pendukung dari Taylor Swift.

Dikutip dari Los Angeles Time, Boric ditanya sekelompok Swifties Chili. “Apakah Anda seorang Swiftie atau bukan?” Boric diam-diam merogoh saku mantelnya dan memperlihatkan foto Swift seukuran dompet. 

Taylor Swift memang fenomenal. Untuk ukuran internasional, fans nya tidak hanya di Amerika tapi juga Amerika Latin. Bahkan dia pernah konser di Asia (Singapura) dan mendapat sambutan luas. Tampaknya memang ada inner power dalam diri Swift. Tapi itu bukanlah sesuatu yang lux, eksklusif ataupun berbau materi dan hura hura. Sebab, kalangan Milineal dan Gen Z punya parameter tersendiri.

Majalah Time pernah menobatkan Greta Thunberg dari Swedia yang berusia 16 tahun sebagai Person of the Year 2019.

Forbes merilis, dengan dedikasinya, Thunberg mengilhami ratusan ribu anak muda untuk berpartisipasi dalam “pemogokan iklim”, yang terbukti memengaruhi para pemimpin dunia dalam seruan mereka untuk perubahan yang transformatif dan mendesak.

Tidak hanya Greta Thunberg. Shamma bint Suhail Faris Mazrui, lulusan University of Oxford diangkat sebagai Minister of State for Youth Affairs di Uni Emirat Arab, di usia 22 tahun. Shamma dinilai berhasil memberdayakan kaum muda di UEA agar aktif dalam masyarakat dan pemerintah mereka.

Nama Gen Z lain adalah Malala Yousafzai, 22 tahun pemenang Hadiah Nobel termuda dalam sejarah pada tahun 2014.

Nama nama tersebut menggoreskan sejarah Gen Z yang memberi sumbangan besar kepada dunia di zamannya. Forbes mencatat kelebihan generasi Z. Di antaranya Teknologi. Web dan media sosial memperkuat suara anak muda yang belum pernah ada sebelumnya. Dan sebagai penduduk asli digital, Gen Z mewujudkan konektivitas dan menavigasi dunia online dengan kemudahan dan kelancaran yang tak tertandingi.

Lalu Pendidikan. Bagi Gen Z, terdapat pepatah “Pengetahuan adalah kekuatan” tidak pernah benar. Mereka berada di jalur yang tepat untuk menjadi generasi terdidik yang pernah ada di dunia. Mereka memiliki akses ke jumlah informasi yang tiada bandingnya dan, juga, tahu cara memanfaatkannya dalam upaya mereka untuk membuat perbedaan.

So. Endorsement vs solidaritas terhadap pemecahan suatu masalah, mana yang lebih penting? Yang mana yang bisa menimbulkan kebaikan bagi masyarakat luas? Jika, suatu komunitas merasa endorsement itu tak bermutu, mereka akan berteriak lantang: Go to hell with your endorsement!! (*)

Aktivis Democracy Care Institute

 



Baca Juga