Kamis, 16 Jan 2025
Opini

Filosofi Sawit: Bersin di Kebun Sawit Sebabkan “Badai” di Eropa

 

Oleh Khaidir Asmuni

Sebelum Amerika Serikat menyatakan keluar dari Paris Agreement, Lynn Wagner  dan Jennifer Allan menulis: When America sneezes, the world catches a cold (Ketika negara Amerika bersin negara-negara lain akan masuk angin).

Tulisan tersebut karena dipengaruhi oleh besarnya pengaruh negara Amerika di dunia internasional. Namun, setelah Amerika keluar dari Paris Agreement pengaruh tersebut semakin berkurang karena melihat kurangnya komitmen Amerika terhadap lingkungan hidup.

Berbeda dengan Amerika Serikat, Indonesia justru negara yang berhati malaikat. Sejak dulu, tidak merusak lingkungan dan Istiqomah menjaga paru paru dunia. Ini berlangsung lama, sebelum sesuatu yang menjadi sejarah dan kebanggaan bangsa, yaitu perkebunan sawit menghadapi isu deforestasi, yang tidak saja kita anggap menyerang masa depan tapi harga diri.

Kelapa sawit Indonesia menjadi bagian dari lingkungan hijau yang asri. Legenda lagu Rayuan Pulau Kelapa, dimana nyiur yang melambai dari Pulau Kelapa yang amat subur, melatarbelakangi sejarah dan filosofi sebuah negara yang hijau.

Isu sesat deforestasi terasa tidak adil bila dikaji dari sejarah masa lalu. Justeru negara majulah yang bertanggung jawab besar terhadap perubahan iklim. Karena menyumbang sekitar 67 persen emisi gas rumah kaca global.

Indonesia sudah mengalah banyak. Istiqomah menjaga oksigen dunia. Sikap itu terbukti dari meratifikasi Paris Agreement melalui UU No. 16 Tahun 2016. Indonesia menandatangani perjanjian ini pada 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat. 

Beberapa langkah telah dilakukan Indonesia mengimplementasikan Paris Agreement, di antaranya: Kontribusi Nasional Terentang (Nationally Determined Contributions/NDCs), Peraturan dan kebijakan, Pengembangan energi terbarukan, Pengelolaan hutan dan lahan, Dukungan internasional dan kerja sama. 

Namun, kebaikan kemanusiaan demi lingkungan ini bukannya mendapat penghargaan. Eropa menyerahkan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive (RED) II yang menilai kelapa sawit mengakibatkan deforestasi sehingga penggunaannya untuk bahan bakar kendaraan bermotor harus dihapus sepenuhnya pada 2030.

Indonesia hanya mendapatkan dana dari skema pembayaran berbasis hasil senilai 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun dari Green Climate Fund (GCF) yang diberikan sebagai bentuk keberhasilan Indonesia dalam program Penurunan Emisi dari Deforestasi tahun 2020.

Saat isu deforestasi sawit mengemuka, Luhut B Panjaitan yang saat itu Menko Kemaritiman bereaksi. Sikapnya didukung Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) yang menyatakan “ancaman” siap keluar dari Kesepakatan Perubahan iklim Paris (Paris Agreement) apabila kebijakan antisawit benar-benar diterapkan Uni Eropa (UE).

Selang sekitar 4 tahun setelah itu, saat Presiden Prabowo Subianto melontarkan arti pentingnya sawit bagi Indonesia, sikap Eropa tetap saja menggunakan isu deforestasi itu. Hal ini membuat Presiden Prabowo mengatakan akan menggunakan sawit tersebut sendiri jika Eropa menolak.

Sebagai sebuah negara raksasa sawit dunia, pernyataan Presiden Prabowo tentu saja berpengaruh di dunia internasional. Ibarat ungkapan “Sneezing in Palm Oil Plantation Causes Storm in Europe”. Ketika kita bersin di kebun sawit berpotensi menimbulkan badai di Eropa. 

Tidak saja Eropa negara-negara lain di dunia pun yang bergantung pada kebutuhan produk sawit akan bereaksi.

Menyimak sikap Amerika yang tidak ada beban keluar dari Paris Agreement menimbulkan beberapa catatan. Pertama, menyadarkan kita bahwa perjanjian itu bukanlah suatu hal mutlak ketika dikaitkan dengan kepentingan dalam negeri suatu negara. 

Apalagi saat ini sejumlah negara besar melakukan rekonstruksi program-program di dalam negerinya untuk menghadapi resesi ekonomi dunia dan perkembangan pasca pandemi. Hal ini bisa membuat isu lingkungan kehilangan konteks.

Kedua, dengan mengambil langkah pragmatis yaitu keluar dari Perjanjian Paris, negara maju seperti Amerika dapat menghindari tanggung jawab masa lalunya terkait dengan pengembangan bahan bakar fosil.

Ketiga, dengan keluar dari Perjanjian Paris negara maju terhindar dari berbagi teknologi dengan negara lain tentang bagaimana cara mengantisipasi efek rumah kaca dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh polusi udara. Atau sebab lainnya.

Untuk sawit, yang dihembuskan justru agar tidak melakukan ekstensifikasi atau perluasan lahan baru.

Stigma yang Menyesatkan

Isu deforestasi dan lingkungan hidup sering menciptakan stigma negatif tentang keberadaan sawit di Indonesia. Padahal, tidak semua kerusakan lingkungan itu terkait dengan pengembangan sawit.

Stigma ini seolah terlegitimasi oleh diri kita sendiri. Saat Harrison Ford membuat film dokumentasi “Years of Living Dangerously” kita 75 persen menilai hal itu menyimpan misi idealis yang sangat mulia dari upaya untuk menjaga lingkungan dari pemanasan global.

Namun, ketika kita kaji lebih jauh film dokumentasi tersebut justru menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara yang melakukan kerusakan lingkungan.

Stigma tersebut harusnya dicegah. Kerusakan lingkungan yang terjadi bukan karena kebijakan negara melainkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. 

Kita bergidik melihat aktor film Ford naik meja dan mencak mencak, sementara clip lain menunjukkan seorang menteri yang tertawa lalu dijawab It’s not funny! Sekalipun ini film dokumenter, harusnya tak perlu adegan seperti itu. Apalagi melibatkan penayangan seorang menteri.

Kalaupun film seperti ini harus ada maka buatlah judul “Raise Cattle on Fertile Oil Palm Land” atau “Love Grows in Oil Palm Plantations”, bukan malah buat film “Years of Living Dangerously”.

Harus diakui bahwa Indonesia, adalah surganya bagi para peneliti terutama peneliti dari mancanegara. Indonesia merupakan laboratorium bagi megabiodiversity dan cultural diversity yang diminati peneliti asing.

Namun adakah penelitian yang seimbang tentang sawit? Mengapa hasil penelitian tentang sawit selalu saja terkait dengan CO2 atau efek gas rumah kaca? Tidak adakah ide lain sebagai penyeimbang?

Mengapa tidak dari sisi penelitian integrasi kebun sawit dengan sapi atau kerbau, atau kambing? Sehingga dapat memberi manfaat bagi pengembangan konsumsi daging. Mengapa tidak diangkat potensi pupuk dari daun sawit? Atau pengembangan buah kelapa sawit yang berkualitas. Atau meneliti bagaimana menciptakan perkebunan kelapa sawit yang dapat memberikan penyerapan CO2 yang lebih besar dengan menciptakan bibit unggul kelapa sawit yang dapat dikembangkan dan berorientasi lingkungan.

Mengapa penelitian penelitian positif seperti ini tidak gencar dilakukan mengimbangi isu deforestasi?

Aktivis Democracy Care Institute

 



Baca Juga