Oleh Khaidir Asmuni
Berwibawa. Mungkin kata ini lebih tepat untuk menggambarkan peluncuran BPI Danantara oleh Presiden Prabowo Subianto 24 Februari 2025. Kewibawaan itu menjadi sebuah hal yang pantas dan sesuai dengan kelasnya, karena dana yang bakal terkumpul dari sovereign wealth fund (SWF) Danantara cukup besar, bahkan sejumlah pendapat menyebut nomor empat terbesar di dunia.
Sebagai pihak yang memiliki hajat untuk memperkenalkan diri memasuki dunia investasi, Presiden Prabowo tampak tak pernah menganggap remeh acara launching itu. Beliau dibersamai dua Presiden serta empat Wapres. Plus kehadiran Ketua DPR RI Puan Maharani dan tokoh penting lain.
Yang mengisyaratkan inilah Indonesia paling lengkap, mewakili tim besar dari negara besar yang siap all out.
Sebab, kita tidak bisa berharap negara lain akan membesarkan kita kecuali kita mulai dari diri kita sendiri. Bismillah. Ucap Presiden ketika akan menandatangani saat acara launching itu.
Dimensi luar dan dalam memang disentuh oleh Presiden Prabowo. Pidato yang diselingi antara Bahasa Indonesia dan Inggris, di satu sisi menunjukkan acara yang very international dan di sisi lain memberi spirit rakyat bahwa pada 24 Februari 2025 ini, Indonesia memulai tonggak dan langkah besar kemandirian ekonomi.
Sam (dalam The Lord of the Ring) menghentikan langkahnya yang membuat Frodo bertanya keheranan mengapa dia berhenti. Sam menjawab: “One more step, I’ll be the farthest away I’ve from home I’ve ever been”. Satu langkah lagi, dia akan menempuh langkah terjauh dalam hidupnya, dari yang selama ini pernah dia lakukan.
Danantara harus diakui menjadi langkah “terjauh” Indonesia dalam perjalanan memasuki belantara investasi, meski telah berkali kali diwacanakan namun belum terwujud.
Disebut langkah “terjauh” karena gambaran pelaksanaannya pun masih berkaca pada sejumlah negara yang pernah menerapkannya, seperti Temasek Singapura ataupun Khazanah di Malaysia.
Kita memang punya Indonesia Investment Authority (INA) yang sudah berjalan tapi gambaran penerapannya berbeda karena SWF kita ada yang juga berasal dari BUMN. Tapi kita optimistis karena punya rambu rambu. Kita ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara.
Meski ada sistem yang menjadi lalu lintasnya, kenyataan di lapangan memang menjadi tantangan saat ini. Kita belum bisa memvisualisasikan kenyataan di lapangan itu nanti dalam bentuk sederhana, seperti kita menggambarkan gajah adalah hewan berkaki empat dan ayam adalah hewan berkaki dua. Sebab, Danantara bisa sangat berbeda ketika diterapkan dari gambaran pikiran yang kita bayangkan sekarang.
Lebih besarkah dari yang dimiliki negara lain atau lebih kompleks? Sebab, apa yang menjadi lahan garapan Danantara nyaris semua dimiliki oleh Indonesia.
Dari sumber daya alam yang kaya (yang bisa menjadi lokus investasi), jumlah penduduk yang besar (yang bisa menjadi posisi tawar dan tenaga kerja), hingga modal keramahan rakyatnya terhadap investasi, yang bisa sangat mendukung stabilitas kenyamanan berinvestasi. Bagi investor yang memahami ini akan menyeka ilernya yang tanpa sengaja keluar karena melihat bagaimana potensialnya badan ini. LBP dari Dewan Ekonomi Nasional bahkan menyebut Abu Dhabi sudah tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia melalui Danantara. Nantinya perusahaan patungan antara Danantara dan Abu Dhabi ini akan membangun pembangkit listrik EBT berkapasitas 10 GigaWatt (GW). Hal ini sejalan dengan Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru untuk membangun pembangkit berbasis EBT dan gas sebesar 80 gigawatt (GW) pada tahun 2040. Begitu kuatnya daya tarik Danantara.
Danantara juga menjadi badan yang paling banyak penyelamatnya. Ibarat Kapten John H. Miller (dalam Saving Private Ryan) bersama pasukannya harus menyelamatkan seorang prajurit bernama James Francis Ryan atas permintaan ibunya. Ibu Ryan telah kehilangan tiga puteranya dalam peperangan dan dia memohon agar Ryan ditarik pulang. Repotnya Ryan tengah berada digaris depan pertempuran saat dijemput. Kapten John H. Miller sendiri tewas menjalankan misi ini namun Ryan berhasil diselamatkan.
Betapa berharga Ryan bagi ibunya, seperti halnya begitu berharganya BUMN yang tergabung dalam Danantara bagi Ibu Pertiwi. Yang tidak saja merupakan SWF yang besar tapi menyimpan sejarah panjang bangsa Indonesia.
BRI, misalnya, didirikan pertama kali di masa penjajahan Kolonial Belanda pada tanggal 16 Desember 1895 di Purwokerto, Jawa Tengah. Juga BNI, yang lahir pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Juli 1946. Saat itu, Pemerintah mempercayai Margono Djojohadikusumo, mantan anggota Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai direktur utama pertama.
Terkait listrik pun, tercatat bagaimana PLN bermula pada 27 Oktober 1945 saat Presiden Soekarno membentuk Jawatan Listrik dan Gas, yang berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga untuk mengelola pembangkit listrik yang dimiliki saat itu dengan kapasitas total 157,5 MW.
Juga dengan Pertamina dan Telkom, memiliki catatan yang tak lepas dari sejarah bangsa.
Napak tilas sejarah perjuangan kemerdekaan memang tak bisa lepas dari keinginan menjadi bangsa yang mandiri termasuk dalam hal perekonomian dan keuangan.
Memahami kecintaan bangsa yang besar terhadap Danantara, Presiden Prabowo sadar akan pentingnya upaya penyelamatan agar tetap berada dalam rel. Saving private Danantara!
“Danantara could be audited any time by anyone because it is owned by the people” tegas Presiden. Mekanisme transparansi publik memang secara tegas harus diimplementasikan dengan laporan keuangan yang terbuka dan mudah diakses.
Sangat disadari apa yang diungkapkan oleh Presiden Prabowo itu menjawab segala keraguan. Namun itu sebetulnya merupakan bagian dari konsekuensi logis penerapan B to B ketika Danantara dijalankan agar pengelolaannya profesional dan menjadi bagian dari entitas bisnis yang riil di dunia internasional. Hingga munculnya nama mantan PM Inggris Tony Blair yang akan ikut mengawasinya menjadi hal yang wajar dan bisa berdampak positif.
Yang patut disyukuri adalah dukungan terkuat menjauhkan Danantara dari korupsi adalah dari Presiden Prabowo sendiri. “There is no person who is most anti-corruption in this country as anti-corruption as President Prabowo“.
Presiden Prabowo tidak saja menjadi kekuatan keyakinan anti korupsi, tapi juga tempat rakyat mengadu.
Saat ini, Danantara telah diluncurkan. Rambu-rambu berupa Undang-undang dan Perpres juga sudah dibuat. Sedikitnya ada tiga hal yang patut menjadi perhatian kita sekarang.
Pertama, mengawal program besar Danantara agar dapat dimanfaatkan tidak saja sebagai upaya mengatasi defisit anggaran tetapi juga menciptakan kualitas belanja dari pemerintah yang lebih baik. Termasuk di dalamnya follow up program makan bergizi gratis (MBG), ketahanan pangan, hilirisasi dan penguatan SDM serta sejumlah program lain menyangkut kesejahteraan rakyat termasuk pendidikan, kesehatan dan sebagainya agar tatap terus berpedoman pada Pasal 33 UUD 1945.
Kedua, memasang mata dan telinga agar tidak terjadi proxy-proxy negatif terhadap langkah besar untuk mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa. Saat ini dengan kondisi perekonomian global yang masih terus berkecamuk, kita berharap konsolidasi internal bangsa kita dapat terus kita perkuat sehingga proxy kepentingan apapun yang akan masuk dan memecah-belah dapat kita tangkal sesegera mungkin.
Ketiga, program-program besar yang diterapkan oleh pemerintah saat ini membutuhkan waktu dan perjuangan yang panjang. Sepuluh tahun ke depan kita doakan pemimpin kita selalu sehat agar dapat meneruskan perjuangan ini.
Bersyukurlah bahwa Presiden Prabowo tetap memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya dengan tidak memotong anggaran untuk gaji, tunjangan dan sebagainya termasuk anggaran pendidikan yang penting. Program efisiensi dan sebagainya dijalankan untuk menghindari pemborosan demi kemandirian bangsa.
Pemahaman kita yang kuat terhadap tujuan bangsa akan menjadi energi menapaki perjalanan 10 tahun ke depan.(*)
Penulis aktivis Democracy Care Institute