Oleh Gunawan Handoko
BEBERAPA hari ini, media diramaikan dengan pemberitaan tentang hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Lampung terkait belum dibayarkannya gaji ke-13 tahun 2023 bagi 3.787 ASN guru di Kota Bandar Lampung. Pasalnya, dana sebesar Rp 9.800.879.000 yang berasal dari kas Pemerintah Pusat sudah lama digelontorkan, dengan tujuan agar dapat dibagikan sesuai ketentuan yang sudah digariskan.
Hampir semua netizen mengungkapkan rasa heran, kesal, iba sekaligus menyayangkan sikap para guru yang hanya diam, dan pasrah, tidak berani berontak. Padahal, yang terjadi merupakan tindakan sewenang-wenang dari penguasa terhadap profesi guru.
Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan, karena secara langsung akan berpengaruh terhadap mental dan psikologi guru. Jika para guru memilih untuk bersikap diam (meski hatinya berontak), hal tersebut karena dihantui dengan bayang-bayang mutasi yang sewaktu-waktu bisa dilakukan oleh penguasa.
Maka, seharusnya organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai wadah berhimpunnya para guru dapat mengambil sikap tegas, tidak hanya diam. Begitu halnya dengan DPRD Kota Bandar Lampung, dapat melakukan langkah-langkah konkrit untuk menelisik keberadaan dana tersebut, yang merupakan hak bagi ASN. Jika digunakan untuk kegiatan lain, seperti umroh gratis misalnya, apakah hal tersebut tidak menyalahi ketentuan yang ada. Bukankah ketentuannya sudah sangat jelas, bahwa pemberian Gaji ke-13 oleh pemerintah bertujuan sebagai bantuan pendidikan, untuk meringankan beban para ASN dan PPPK yang masih menanggung biaya sekolah bagi anak-anaknya. Disamping sebagai wujud penghargaan pemerintah atas pengabdian kepada bangsa dan daerah.
Sebagai suami dari seorang guru, saya banyak tahu tentang bagaimana mereka menjalani tugas kesehariannya di sekolah. Selain disibukkan pada tugas-tugas mengajar sesuai aturan yang ada, yakni kurikulum yang telah digariskan pemerintah, juga tidak dapat melepas tanggungjawabnya sebagai ibu rumah tangga. Apa yang dilakukan guru semata-mata demi untuk mencerdaskan dan menanamkan pendidikan moral serta budi pekerti bagi anak-anak bangsa. Maka sudah seharusnya kita menjaga dan menghormati marwah pendidik, agar dalam menjalankan tugasnya tidak merasa tertekan yang bisa berakibat stres.
Guru ibarat pohon yang tinggi tapi buahnya jarang, berbeda dengan abdi sipil negara (ASN) non guru yang masih bisa mendapat seseran di luar gaji yang diterimanya.
Kebijakan di bidang pendidikan yang dilakukan Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu grand design yang jelas, terutama perhatian kesejahteraan terhadap profesi guru sebagai pelaku di lapangan. Bila kesejahteraan belum bisa diberikan karena keterbatasan keuangan, maka jangan sampai gaji yang merupakan hak bagi guru ASN mesti ditahan-tahan. Sangat penting kiranya Pemerintah Kota Bandar Lampung mau mendengar kritik, saran, dan pandangan masyarakat, baik yang berstatus pakar maupun rakyat jelata.
Para pakar dengan daya olah pikir yang dimilikinya, perlu didengar sumbang pikirnya tentang arah kebijakan pendidikan yang lebih baik. Juga kritik rakyat jelata yang disampaikan melalui jeritan hati karena menyaksikan nasib guru yang selalu terpinggirkan dan dilihat sebelah mata.
Sudah saatnya bagi kita untuk ’belajar’ menghargai guru, seiring dengan upaya yang dilakukan pemerintah dalam memberikan perhatian lebih kepada profesi guru, terutama faktor kesejahteraan.
Di era sekarang ini, tidak jarang dunia pendidikan dimanfaatkan untuk ajang pencitraan. Politisasi pendidikan marak dan dilakukan dengan terang-terangan saat pemilihan kepala daerah (pilkada). Keberadaan para guru tidak lagi dipandang sebagai sosok pendidik yang butuh ketenangan dalam melaksanakan tugasnya, namun sudah disamakan dengan PNS secara umum. Akibat dendam politik, tidak jarang para kepala sekolah dan guru yang harus dimutasi, karena dianggap tidak loyal.
Apapun alasannya, politisasi dalam dunia pendidikan harus dihentikan, karena akan menghambat kemajuan pendidikan.
Bagi kita yang pernah mengalami hidup pada jaman praglobalisasi informasi, bahkan pada jaman penjajahan sekalipun, posisi dan profesi guru sangat dihormati, berada pada tatanan kaum elit priyayi. Dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan maupun kenegaraan, para guru selalu ditempatkan pada posisi terdepan. Bahkan, dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pun, guru selalu ada di garis terdepan.
Kita tahu, bahwa almarhum Panglima Besar Jenderal Sudirman pun adalah seorang guru. Maka tidak ada alasan bagi kita semua untuk tidak menghormati dan menghargai guru, karena apa yang ada pada diri kita hari ini berkat perjuangan mereka, para guru. (*)
Penulis: Ketua Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Provinsi Lampung