Belum juga selesai isu tambang dan 5 orang kader NU yang berangkat ke Israel, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Sekretaris Jendralnya, Saifullah Yusuf, melakukan manuver baru yakni rencana pembentukan panitia khusus (Pansus) tim lima untuk melawan PKB yang kini masih dinahkodai oleh Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Pernyataan PBNU ini sungguh di luar dugaan, setelah keterlibatan PBNU dalam kancah Pilpres 2024 kemarin, kini dipertegas dengan keterlibatan PBNU secara langsung dalam perebutan PKB. PBNU secara terang-terangan terlibat dalam politik praktis.
Sebagai salah seorang Nahdliyin, sebetulnya realitas ini tidak mengangetkan, lantaran sejak awal perhelatan Muktamar NU di Lampung 2021 silam, indikasi kuat itu tertuju pada tim sukses KH. Yahya Cholil Staquf yakni sekurang-kurangnya Saifullah Yusuf dan Nusron Wahid, di mana keduanya merupakan politisi aktif partai politik. Selain kubu Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj yang dikenal dekat dengan Cak Imin dan PKB. Realitas semakin terbuka, sehingga sudah bukan rahasia umum lagi bahwa PBNU ini tengah menjadi rebutan para elit politisi.
Padahal, sebagai salah seorang Nahdliyin setidaknya saya berharap apabila para elit PBNU dan PKB ini bisa memberi teladan atau setidaknya menahan diri masing-masing. Tetapi faktanya sebagaimana terlihat di banyak kesempatan, baik elit PBNU maupun PKB selalu saring serang, terlibat perang saudara dan memendam dendam kesumatnya masing-masing. Padahal mereka ini bersaudara secara organisasi maupun kekeluargaan. Sungguh ini realitas yang patut disayangkan.
PBNU dalam kesempatan ini tentu saja bukan tanpa pertimbangan, selain mendapatkan suport moral (baik secara langsung maupun tidak) dari keluarga Alm Gus Dur, juga terlalu banyak para kader terbaik PKB yang tidak masuk dalam jajaran DPP PKB. Keberhasilan Cak Imin dalam merebut PKB dari Gus Dur memang patut diacungi jempol, sebab sampai hari ini tidak ada satu orang pun yang bisa mengalahkan otoritas Cak Imin sebagai pegeden PKB.
Yaqut Cholil Qoumas yang notabene Menteri Agama dan kader PKB, justru blunder terhadap PKB, bahkan terakhir dalam Mukernas dan Harlah PKB 23 Juli kemarin, ia kembali tidak hadir. Yang paling kentara adalah saat Pilpres 2024 kemarin, Gus Yaqut berada di gerbong Prabowo-Gibran, sementara Cak Imin dan PKB berada dalam gerbong Anies. Sungguh merupakan dinamika yang unik–untuk enggan mengatakan semrawut.
Padahal mestinya PBNU atau PKB bisa mengatasi segala konflik ini ke atas meja hijau. Masing-masing pihak duduk bersama untuk mencari titik-temu dan solusinya ke depan. Karena bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri, antara PBNU dan PKB ini saling membutuhkan. Sebab PKB didirikan oleh para Kiai NU/PBNU. Demikian kader PKB adalah mayoritas kader NU. Akhirnya kekuatan NU dalam konstelasi politik nasional tercerai-berai, sebagian besar memang teraspirasikan ke PKB, tetapi juga ke parpol lain. Kalau saja PBNU dan PKB islah, saya yakin PKB akan mampu bertengger setidaknya sebagai pemenang kedua Pemilu.
Sikap PBNU dan PKB ini justru akan menjadi senjata makan tuan, yang akan semakin memperburuk citra PBNU dan PKB di mata publik. PBNU dan PKB yang mendaku sebagai pemeluk Muslim mayoritas, pengusung Islam moderat, tetapi sikapnya tidak selalu berbanding lurus. Apalagi zaman ini merupakan terbuka, segala arus informasi hanya dalam hitungan detik bisa cepat sampai ke berbagai belahan dunia mana saja. Sehingga sikap “muka tembok” PBNU maupun PKB akan merugikan institusi masing-masing. Tidak aneh jika sentimen negatif terhadap PBNU dan PKB semakin kuat dan meningkat tajam.
Perang saudara ini harus segera diakhiri. Ini demi masa depan PBNU dan PKB. Bagaimana rasanya menanggung malu sesama Kiai, selama kader NU dan PKB beradu emosi, saling sindir dan melakukan manuver yang jelas-jelas kontraproduktif. Di sinilah kebijaksanaan PBNU dan PKB diuji. Kalau perang saudara ini terus berlanjut dan berkepanjangan, jangan salahkan siapa-siapa kalau korupsi, kolusi dan nepotisme di negeri ini semakin menggila. Sebab “patok bumi” moralitas kebangsaan kita semakin longgar dan goyah. Sungguh negeri ini sedang membutuhkan akhlak malu dan teladan yang baik.
Wallahu a’lam
Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah, 26 Juli 2024, 14.46 WIB