Oleh Khaidir Asmuni
Sebetulnya, Airlangga tidak perlu menjadi politisi berhati malaikat dengan menerima kenyataan bahwa dirinya tidak pernah menabur angin tapi harus menuai “badai.”
Bahkan ada tokoh yang menilai, (maaf) politik “berserah diri” yang dilakukannya sejak awal pada kekuasaan tetap tidak menjamin adanya kelangsungan posisi politiknya untuk nyaman di bawah beringin.
Sejak awal, majunya Gibran sebagai cawapres pada Pilpres yang lalu dinilai banyak kalangan akan memiliki konsekwensi di kemudian hari. Majunya Gibran adalah “king gambit” yang dimainkan dan akan membuka bidak yang nantinya akan terkait agresivitas dalam meraih posisi.
Di belakang hari memang terbukti. Karena bagaimanapun juga posisi Gibran (yang benar benar jadi Wapres) harus diperkuat. Kalau hanya mengandalkan nama besar dari Jokowi tanpa ada kekuatan yuridis formal di partai politik maka posisi Gibran akan lemah.
Persoalannya, nama besar itu memang tidak selamanya bisa bertahan. Posisi Jokowi sebagai presiden memiliki batas waktu hingga Oktober 2024. Spekulasi analisis ini sangat beralasan. Sebab, Munas Golkar seharusnya terjadi pada bulan Desember. Namun, Airlangga mundur di bulan Agustus ini. Yang membuat sebuah asumsi bahwa bidak politik dimainkan sebelum Munas.
Yang menarik adalah apabila posisi Gibran sebagai Wapres diperkuat dengan adanya kekuatan parpol (Golkar), maka pandangan bahwa Wapres hanya sebagai (maaf) “ban serep” seperti yang dipersepsikan selama ini itu tidak akan terjadi.
Namun demikian, apabila kekuatan parpol seperti Golkar dapat mengisi ruang kekuasaan, perkembangannya akan berbeda. Sebab Gerindra yang diprediksi akan makin kuat juga akan berperan dominan. Kondisi ini, dari salah satu sisi, bisa menyebabkan “matahari kembar”. Tentunya hal ini akan membuat dunia perpolitikan di Indonesia dinamis. Dan menimbulkan pertanyaan. Apakah kondisi ini akan menghasilkan kebijakan yang produktif bagi bangsa dan menghindari Indonesia dari drama drama politik yang panjang hingga 2029.
Publik sebetulnya menanti sikap dari petinggi petinggi Golkar lain. Ini terkait jika ada aturan yang bisa saja berubah ketika ada tokoh yang akan masuk dalam kepengurusan. Apakah akan ada kontra? Atau semua akan menerima.
Dunia maya saat ini memberikan gambaran bahwa mundurnya Airlangga sangat terkait dengan unsur kekuasaan yang ada saat ini, terutama Jokowi. Paling tidak mereka menyebut bahwa pengganti Airlangga adalah orang-orang dekat Jokowi, seperti Bahlil atau Agus Gumiwang. Bahkan, Gibran masuk dalam tokoh yang akan menggantikan Airlangga. Berbagai hal yang diungkapkan publik di media sosial ini memang cukup cukup beralasan. Meski tidak secara langsung menyebut bahwa semua adalah peran dari (maaf) kekuasaan. Karena hingga saat ini tampak para elite politik di Indonesia masih santai saja. Bahkan pascakemunduran Airlangga para tokoh nasional makan bakso di IKN.
Membaca Dampak Mundurnya Airlangga
Mundurnya Airlangga memang berdampak pada acara besar Pilkada Serentak tahun 2024. Pertama, karena bagaimanapun juga Pilkada menjadi kekuatan bagi partai politik untuk mendapatkan pemimpin di daerah yang akan berperan di Pemilu tahun 2029 mendatang. Oleh sebab itu, partai politik memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap Pilkada serentak tahun 2024 ini.
Di Indonesia, ada sejumlah provinsi besar dengan jumlah penduduk juga sangat besar yang menjadi kunci untuk dominasi kekuatan politik. Dengan mundurnya Airlangga maka akan mempengaruhi pencalonan kepala daerah di daerah-daerah. Tak terkecuali daerah-daerah yang memiliki penduduk yang jumlahnya sangat besar.
Salah satu dampak yang sudah terlihat adalah dengan mundurnya Jusuf Hamka dari Golkar. Ini memberikan gambaran perkembangan politik pasca mundurnya Airlangga di DKI Jakarta.
Kedua, apakah mundurnya Airlangga akan mempengaruhi rekomendasi yang telah dikeluarkan Golkar terhadap calon kepala daerah? Ini akan membuat suhu politik sedikit hangat di daerah. Bahkan sebagian pendapat menilai apabila tidak terjadi kesepakatan tentang calon tersebut. Misalnya ada pihak yang tidak puas, maka akan memicu musyawarah luar biasa di daerah.
Musyawarah Luar biasa bisa dipicu menjelang Munas di bulan Desember dan menimbulkan gerilya politik di berbagai daerah untuk tujuan pencalonan di pilkada dan kepentingan munas. (*)
Penulis adalah Aktivis Democracy Care Institute (DCI)