Sabtu, 15 Mar 2025
Internasional

Respon Ancaman Israel, Iran Sebut Punya Senjata Rahasia Melebihi Bom Nuklir

EKSPOS – Seorang jenderal senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran mengklaim Teheran memiliki senjata rahasia yang lebih kuat daripada bom nuklir.

Brigadir Jenderal Ebrahim Rostami, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Komisi Pengembangan dan Peralatan IRGC, menyampaikan pernyataannya sebagai respons atas seruan dari anggota Parlemen Iran untuk meninjau kembali doktrin militer non-nuklir negara tersebut di tengah ancaman serangan Israel.

Dalam sebuah wawancara dengan media Iran, Rostami mendukung seruan untuk mengubah doktrin tersebut tetapi mengatakan anggota Parlemen tidak menyadari beberapa aspek.

“Karena melibatkan informasi yang sangat rahasia dan sangat rahasia,” katanya, seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (17/10/2024).

Dia mengisyaratkan senjata rahasia yang lebih unggul dari bom nuklir itu telah dikerahkan di masa lalu, mengingat serangan terhadap kapal tanker minyak di Uni Emirat Arab pada tahun 2019.

“Ketika (Donald) Trump ingin mengurangi ekspor minyak kami, ada sejumlah operasi taktis,” klaim Rostami.

“Saya tidak akan mengatakan siapa yang melakukannya, tetapi lima kapal tanker meledak di pelabuhan Fujairah yang dijaga ketat. Mereka bahkan tidak tahu dari mana serangan itu berasal. Mereka bahkan mengajukan pengaduan ke PBB. Uni Emirat Arab menuduh kami, tetapi tidak dapat memberikan bukti. Ini adalah beberapa contoh yang dapat saya sebutkan,” tukasnya.

Pekan lalu, sekelompok anggota Parlemen Iran meminta Dewan Keamanan Nasional Tertinggi untuk meninjau doktrin pertahanan negara itu dan mencabut larangan pengembangan senjata nuklir.

Tuntutan itu muncul di tengah ancaman berkelanjutan dari Israel yang akan menyerang fasilitas nuklir dan minyak Iran.

Ketegangan antara Iran dan Israel meningkat menyusul pembunuhan para pemimpin Hamas dan Hizbullah serta seorang jenderal IRGC oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) bulan lalu.

Sebagai respons atas serangan tersebut, Iran melancarkan serangan rudal besar-besaran pada 1 Oktober, dengan klaim hanya menargetkan fasilitas militer.

Sementara belakangan ini ketegangan terjadi antara Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Bahkan disebut semakin memanas dari waktu ke waktu.

Selama pertemuan mingguan dengan para menterinya pada Selasa (15/10/2024) lalu dikabarkan, Macron memperingatkan Netanyahu agar tidak mengabaikan keputusan-keputusan PBB.

“Tuan Netanyahu tidak boleh lupa bahwa negaranya didirikan oleh keputusan PBB,” kata Macron seperti dikutip dari POLITICO, Kamis (17/10), merujuk pada pemungutan suara Majelis Umum PBB pada November 1947, yang mengakhiri mandat Inggris atas Palestina dan membagi wilayah tersebut menjadi negara Yahudi dan Arab.

Seruan Macron untuk tidak mengabaikan keputusan PBB mengacu pada situasi di Lebanon selatan dan serangan Israel terhadap Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL), yang dikutuk oleh 40 negara pada hari Sabtu (12/10/2024).

Lima pasukan UNIFIL terluka akibat serangkaian serangan Israel pekan lalu, di mana dua di antaranya berasal dari Indonesia.

Memanasnya hubungan Macron dan Netanyahu terjadi saat Israel intensif menggempur Lebanon – negara yang memiliki hubungan historis panjang dengan Prancis. Israel mengklaim serangannya ke Lebanon bertujuan menargetkan Hizbullah, namun yang terjadi justru melukai dan membunuh banyak warga sipil.

Melansir kantor berita AP yang mengutip Kementerian Kesehatan Lebanon, serangan Israel ke Lebanon sejak Oktober tahun lalu telah menewaskan sekitar 2.300 orang, di mana lebih dari tiga per empat kematian terjadi dalam sebulan terakhir.

Pada Selasa pula Netanyahu membalas pernyataan Macron dengan mengatakan bahwa Israel diciptakan bukan oleh keputusan PBB, melainkan perang kemerdekaan pada tahun 1948.

“Sebuah pengingat kepada presiden Prancis: Bukan resolusi PBB yang mendirikan Negara Israel, melainkan kemenangan yang dicapai dalam perang kemerdekaan dengan darah pejuang heroik, di mana banyak di antaranya adalah penyintas Holocaust termasuk dari rezim Vichy di Prancis,” ungkap Netanyahu.

Rezim Vichy bekerja sama dengan pasukan pendudukan Adolf Hitler dalam Perang Dunia II dan membantu Nazi Jerman mendeportasi 76.000 orang Yahudi dari Prancis ke kamp konsentrasi.

Sebelum pernyataannya soal pendirian Israel, Macron lebih dulu menyerukan penghentian pengiriman senjata ke negara itu. Sontak seruannya mengundang kemarahan Netanyahu, yang membalasnya dengan mengatakan, “memalukan”.

Prancis bulan lalu berusaha menjadi penengah gencatan senjata selama 21 hari antara Israel dan Hizbullah. Namun, upaya itu gagal ketika Netanyahu memerintahkan serangan terhadap markas besar kelompok tersebut, yang menewaskan pemimpinnya Hassan. (*)

 



Baca Juga