Sabtu, 14 Des 2024
Intermezo

PEDALAMAN

Oleh Naim Emel Prahana

 

HAMPIR semua membayangkan kata dan ucapan Pedalaman itu selalu tergambar hutan yang lebat, ada dusun kecil dengan nyanyian satwa liar, riuh rendahnya suara air sungai dan intinya terkebelakang!

Wajar, karena kaum urban di kota besar, menengah dan kecil adalah kebanyakan dari kampung-kampung nun jauh di lembah bukit barisan, di daerah rawa atau di pinggiran sungai-sungai. Padahal, pedalaman itu lebih luas maknanya. Mencakup hampir semua aspek kehidupan, tak terkecuali soal politik. Artinya menjadi korban politik orang-orang kota.

Bicara arti pedalaman seperti itu, ada benarnya karena selalu dekat dengan suasana sepi, hening dan sunyi. Tetapi, di pedalaman itu kehidupannya sangat harmonis, antara pepohonan, semak belukar, binatang buas dan satwa unggas maupun penghuni aliran sungai seperti berjenis-jenis ikan, biawak, ular, katak, siput, keong.

Kadang ada orkestra di siang atau malam, tatkala angin bertiup kencang membuat gesekan dedahanan, dedaunan dan gusarnya penghuni sangkar-sangkar di pucuk pohon atau di semak belukar. Suasana dapat juga menjadi panggung teater alam yang maha dahsyat cerita dan adegannya membuat para petani atau pekebun menjadi betah berbulan-bulan di kebun atau sawah ladang mereka.

Semuanya sangat Natural dan tiap saat akan menjadi buyar ketika dipetakan oleh pengusaha berkalaborasi dengan penguasa tamak bin rakus. Dampaknya tak pernah mereka pikirkan.

Pedalaman oh pedalaman ternyata ada di kota-kota. Sekian kawasan rumah-rumah kumuh, hukum tidak terjangkau memasuki wilayah kumuh tadi. Jagoanlah yang menjadi hukum, semua persoalan selesai apa kata para preman di daerah kumuh dan di daerahmu di sini banyak. Penduduk atau warga tak terjamah oleh kasih sayang. Mereka hanya didatangi manakala ada hajat politik bernama pilkada, pilgub, pemilu legislatif atau pilpres………

Di kawasan kumuh seperti itu kalau di Yogyakarta disebut dengan kampung ledok. Banyak penulis, cerpenis, budayawan, aktor dan aktris film mendapatkan realita dalam peranannya. Maka, lahirlah cerita-cerita atau naskah/skenario drama, film romantika, film aksi dan filam-film sinitron.

Ternyata di pedalaman kota yang tak terjamah itu, lahirlah manusia-manusia humanis, loveis, kekentalan keakraban sesama warga. Padahal, gedung-gedung bertingkat, rumah-rumah pejabat lengkap dengan fasilitas mewah, kantor-kantor pemerintah selalu tidak jauh dari jalan utama (jalan protokol). Bagaimana dengan kawasan pedalaman kota kalian?

Mereka membangun gardu ronda bukan untuk bisnis, mereka hajatan, juga bukan ajang bisnis keluarga, dan pergaulan mereka bergotong royong senasib sepenanggungan adalah seni kehidupan yang tinggi nilainya yang pada akhirnya menjadi tradisi dan mereka telah menciptakan budaya yang luar biasa. Walau sangat sederhana dilihat dari semua sisi.

Pedalaman perkotaan adalah kawasan rakyat dan keharibaan mereka selalu tidak dilirik sebelah mata, apalagi mau dilihat oleh kedua bola mata. Miris memang. Pembangunan tidak pernah menyentuh rasa kebutuhan mereka. Pembangunan selalu untuk kelompok the haves (masyarakat mampu). Masyarakat mampu dianggap sebagai masyarakat yang sering berteriak atas nama rakyat tetapi ketika mendapatkan tujuannya. Rakyat dilindas. Seni kepemimpinan model itu sudah berkembang sedemikian pesat di bumi ini.

(Minggu, 14 Februari 2021)



Baca Juga