EKSPOS – Fenomena El Nino yang melanda dunia saat ini diprediksi akan bertahan sampai Desember 2023. Puncaknya terjadi pada bulan Agustus ini hingga September.
Fenomena El Nino turut berpengaruh terhadap pola cuaca global di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi fenomena El Nino di Indonesia akan bertahan hingga Desember 2023.
“El Nino masih akan bertahan sampai akhir tahun. Tapi dampaknya seiring dengan datangnya musim hujan makin berkurang. Sebab November akan mulai hujan,” kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, A Fachri Radjab, belum lama ini.
El Nino merupakan fenomena cuaca yang terjadi akibat peningkatan suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik. Suhu yang lebih hangat dari biasanya mengakibatkan pengurangan udara basah di wilayah sekitarnya yang akhirnya ikut menaikan temperatur suhu udara.
“Artinya fenomena ini bersifat global. Dampaknya tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi di Indonesia dampak yang paling kuat dirasakan adalah berkurangnya curah hujan. Ketika musim kemarau ditambah El Nino jadi makin kering wilayah kita. Itu dampaknya yang jelas terjadi,” jelas Fachri.
BMKG mencatat fenomena El Nino telah beberapa kali terjadi di Indonesia, termasuk pada tahun 2015 dengan intensitas kuat dan pada tahun 2019 dengan intensitas lemah.
Pada tahun ini, menurut analisis BMKG, fenomena itu telah mengakibatkan kemarau di 63 persen wilayah Indonesia, termasuk Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan. “Diperkirakan musim kemarau ini akan lebih kering dibandingkan tiga tahun sebelumnya,” ucap Fachri.
Kendati fenomena El Nino diprediksi akan bertahan hingga akhir tahun 2023. Namun sebagian wilayah Indonesia akan mulai memasuki musim hujan mulai Oktober mendatang.
“Oktober sebagian wilayah Indonesia sudah mulai ada yang hujan seperti Sumatra. Tapi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa terutama bagian timur itu masih kemarau,” ungkap Fachri.
Dampak El Nino di Indonesia, atau di wilayah lain, biasanya dicirikan oleh kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sehingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiapkan sejumlah langkah dalam mengantisipasinya.
“Dalam langkah mengatasi kekeringan kami memberikan imbauan kepada daerah-daerah untuk memastikan ketersediaan air khususnya di daerah-daerah yang biasanya timbul kekeringan. Mumpung sekarang masih bisa mendatangkan hujan,” ujar Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto.
Suharyanto juga mengatakan, modifikasi cuaca juga dilakukan pemerintah untuk mendatangkan hujan di wilayah-wilayah yang berpotensi terdampak El Nino.
“Kami bekerja sama dengan BMKG, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, menggelar operasi teknologi modifikasi cuaca, yaitu mendatangkan hujan untuk mengisi danau, embung, sungai, serta sumur,” jelasnya.
Potensi karhutla akibat dampak El Nino turut menjadi sorotan BNPB. Sesuai Instruksi Presiden No 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Karhutla ada enam provinsi yang menjadi prioritas yaitu Sumatra Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Dalam menangani karhutla BNPB telah bersiaga melalui operasi darat.
“Apabila operasi karhutla membesar dan tidak bisa diatasi oleh operasi darat. BNPB menyiapkan langkah terakhir dengan menggelar operasi udara dengan menggunakan helikopter yang melakukan water bombing,” ucap Suharyanto.
Sementara itu secara terpisah, dosen program studi meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Joko Wiratmo mengatakan dampak El Nino diprediksi bakal lebih banyak dirasakan di Indonesia bagian timur.
“Di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh Samudra Pasifik itu adalah Indonesia bagian timur. Kalau El Nino itu makin ke arah barat relatif berkurang dampaknya. Biasanya El Nino berkaitan dengan curah hujan yang makin menurun atau berkurang bahkan kekeringan,” katanya.
Diketahui, kekeringan parah di Indonesia pernah terjadi tahun 1982-1983 serta tahun 1997-1998. Pemicunya bukan hanya El Nino, tetapi juga Indian Ocean Dipole (IOD).
El Nino merupakan peristiwa memanasnya permukaan air laut pantai barat Peru-Ekuador, Amerika selatan. Pemanasan tersebut mengakibatkan iklim global terganggu. Dampak bagi Indonesia, terjadi kekeringan cukup panjang.
Angin muson Indonesia yang bertiup dari Asia sebenarnya membawa banyak uap air, tetapi karena terpengaruh El Nino, maka uap air tersebut sebagian berbelok ke arah pantai barat Peru-Ekuador, Amerika Selatan.
Karena uap air yang masuk ke Indonesia terlaku sedikit, akibatnya, Indonesia mengalami kekeringan cukup panjang, meski kekeringan tidak merata di seluruh daerah.
Anggota Tim Variabilitas Iklim, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Erma Yulihastin, tahun 2015 pernah mengatakan, El Nino menguat hingga Desember .
Tahun 2015, indeks El Nino mencapai angka 1,37. Indeks itu akan terus merangkak antara 1,5 hingga 2,5.
“Ini indeks terkuat selama lima tahun terakhir,” kata Erma.
Secara sederhana, Erma menjelaskan, fenomena El Nino tersebut mengakibatkan kekeringan di sebagian besar wilayah Indonesia.
“El Nino kuat dengan indeks lebih besar dari angka 2 pernah terjadi pada tahun 1982-1983 serta tahun 1997-1998. Dampaknya terjadi bencana kekeringan parah di Indonesia,” kata dia.
El Nino kuat menurut Lely Qodrita, rekan satu tim dengan Erma, memiliki kecenderungan berulang sekitar 15 tahunan.
Sementara dia berkeyaknan kekeringan parah tidak hanya disebabkan oleh El Nino tapi juga Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang kuat.
IDO menurutnya adalah gejala penyimpangan cuaca karena interaksi antara permukaan laut dengan atmosfer di Samudera Hindia bagian timur dan Samudera Hindia bagian barat.
Suhu permukaan laut Samudera Hindia Bagian Timur lebih dingin dibanding dengan Samudera Hindia Bagian Barat, termasuk memicu kekeringan di Indosesia.
Mitigasi bencana kekeringan, menurut kedua ilmuwan tersebut bisa dilakukan dengan menghemat penggunaan air dalam berbagai keperluan sehari-hari. (*)