EKSPOS – Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi sorotan publik lantaran ramai-ramai menggadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan mereka usai dilantik.
Hal tersebut terjadi di berbagai daerah, termasuk Serang, Malang, Pasuruan dan sejumlah daerah lainnya.
Para anggota DPRD menggadaikan SK mereka ke bank untuk mendapatkan pinjaman uang. Langkah itu dilakukan untuk menutupi biaya kampanye yang tinggi selama pemilihan legislatif. Misalnya, di Kota Pasuruan, empat anggota DPRD telah menggadaikan SK mereka dengan pinjaman mencapai Rp500 juta.
Fenomena ini dianggap wajar oleh beberapa pihak karena biaya kampanye yang dikeluarkan oleh calon anggota DPRD memang tidak sedikit. Namun, tindakan ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang integritas dan komitmen para wakil rakyat terhadap tugas dan tanggung jawab mereka.
Beberapa sosiolog bahkan menyebut fenomena ini sebagai tanda “pembusukan demokrasi” di tingkat paling rendah.
Fenomena ini menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh sistem demokrasi di Indonesia, terutama dalam hal pembiayaan kampanye dan integritas wakil rakyat. Sehingga muncul pertanyaan; Apakah tindakan tersebut sebagai solusi atau masalah baru?
Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, fenomena tersebut sudah menjadi tren setiap selesai acara pelantikan, anggota DPRD di banyak tempat langsung menggadaikan SK mereka. Fenomena ini dinilai pertanda bahwa orientasi pertama anggota DPRD tersebut merupakan soal uang.
“Bisa jadi sebelum kampanye mereka memang mempunyai simpanan tetapi gegara kampanye yang brutal, uang mereka ludes. Nampaknya uang itu pula yang membuat mereka bisa mendapatkan banyak suara dari calon yang lain,” ujar Lucius, dalam keterangannya, seperti dikutip iNews.id, Sabtu (7/9/2024).
Bahkan, kata dia, bisa jadi penggadaian SK dilakukan karena calon terpilih memang berorientasi mencari pekerjaan sekaligus pendapatan. Saat ada kesempatan untuk mendapatkan uang, lanjut dia, secepatnya setelah dilantik mereka tak mau membuang-buang waktu lagi.
“Baik mereka yang beruang maupun yang tidak beruang sebelum terpilih, nampaknya uang jadi kata kunci utama yang ingin diperlihatkan para wakil rakyat itu,” katanya.
Menurutnya, mental menempatkan uang di atas segalanya ini sangat mencemaskan karena jabatan sebagai anggota DPRD sangat dekat dengan sumber keuangan daerah.
“Jika sejak awal sudah mulai menggadaikan SK, ya tentu saja berikutnya mereka juga dengan mudah mencari celah melalui fungsi dan peran mereka demi mendapatkan tambahan baru. Apalagi kebutuhan sebagai pejabat juga semakin bertambah,” ucapnya.
Dia menuturkan, penggadaian SK ini merupakan titik awal lingkaran setan tuntutan akan uang dari anggota DPRD yang berarti juga bahwa terbukanya peluang untuk mendapatkan uang itu dari sumber-sumber ilegal dengan memanfaatkan fungsi dan kewenangan DPRD.
Selain itu dia menilai, penggadaian SK ini seperti melupakan jati diri anggota DPRD sebagai wakil rakyat sejak titik awal seorang anggota dewan seharusnya mengabdi untuk rakyat. Bagaimana mereka bisa berbicara tentang politik anggaran ketika mereka justru dituntut oleh kebutuhan diri sendiri akan uang.
“Jelas ini namanya bukan solusi sih. Justru menimbulkan problem baru, yakni berutang dan lain-lain,” katanya.
Sementara itu, Ida Ruwaida, Sosilog dari Universitas Indonesia (UI) mengatakan, menggadaikan SK bisa jadi salah satu bentuk upaya untuk balik modal karena bisa jadi ada yang berutang sana sini.
Secara sosiologis, kata dia latar belakang sosial ekonomi anggota legislatif juga bisa melatari. Namun, kesiapan psiko-sosial anggota legislatif dalam kerja kerja politik sangat dituntut.
Bagi anggota legislatif yang latarnya tidak paham dunia politik tentu lebih banyak risiko karena ada anggota legislatif yang sebetulnya baru masuk dunia politik.
“Jangka pendek mungkin solutif, tapi jangka menengah bisa menjadi sumber masalah,” katanya.
Kecenderungan menggadaikan SK, kata dia sebetulnya juga dilakukan pada profesi lainnya, seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) dan umumnya terjadi di daerah-daerah.
“Jika PNS/karyawan menggadaikan SK untuk kebutuhan investasi/produktif (pengembangan diri) mungkin bisa dipahami, namun jika untuk konsumtif, tentu perlu dipertanyakan,” katanya.
Dia menilai perlu ada kajian lebih mendalam. Untuk bisa nyaleg, bukan hanya bermodal berkompeten secara politik, tapi justru modal finansial yang utama, apalagi di konteks politik uang demikian melekat.
“Modal popularitas saja kadang tidak cukup, apalagi yang kurang populer, kurang dikenal di masyarakat,” ucapnya. (*)