Senin, 4 Nov 2024
Hukum

Penahanan Pembayaran DBH Sebesar Rp1,08 Triliun Oleh Pemprov Dinilai Menjurus Ke Arah Tipikor

EKSPOS – Penahanan pembayaran dana bagi hasil (DBH) oleh Pemprov Lampung sebesar Rp1,08 Triliun yang semestinya dikucurkan ke 15 kabupaten/kota yang ada di Lampung ditengarai menjurus ke arah tipikor. Bahkan, penahanan pembayaran itu disebutkan tidak didasarkan pada hukum yang jelas dan tidak dilakukan dengan prosedur yang sesuai ketentuannya.

Demikian diungkapkan praktisi hukum di Bandar Lampung, Novianti, SH, dalam keterangannya kepada wartawan, Senin(13/5/2024) pagi.

Menurut alumnus FH Unila ini, penahanan DBH yang tidak sah dapat dikatakan sebagai mengelola uang negara secara tidak transparan dan dapat mempengaruhi jalannya program pembangunan serta kesejahteraan masyarakat.

“Pemkab/pemkot yang berhak menerima DBH dapat mengajukan gugatan, baik secara pidana maupun perdata terhadap Pemprov Lampung terkait dengan penahanan DBH ini. Begitu juga dengan elemen masyarakat atau ormas. Jadi, ya sebaiknya ramai-ramai saja menggugat pemprov, agar DBH yang jelas-jelas memberi manfaat kepada 15 kabupaten/kota dan masyarakat Lampung bisa segera diberikan,” tutur Novianti yang juga dikenal sebagai aktivis berbagai ormas.

Diuraikan oleh tokoh PEKAT-Indonesia Bersatu Provinsi Lampung ini, bahwa gugatan pidana dapat dilakukan karena penahanan DBH bisa dianggap sebagai tindak pidana korupsi, sedangkan gugatan perdata dapat dilakukan karena penahanan DBH tersebut berdampak pada tidak jalannya program pembangunan dan berimbas juga pada terhambatnya kesejahteraan masyarakat secara umum.

Mengenai bisanya elemen masyarakat atau ormas juga mengajukan gugatan terhadap Pemprov Lampung terkait dengan penahanan DBH, Novianti yang dikenal juga sebagai aktivis Gerakan Nasional Patriot Pancasila Provinsi Lampung, memaparkan, gugatan dapat dilakukan berdasarkan asas-asas hukum yang berlaku, seperti asas keadilan, asas kesetaraan, dan asas kemanusiaan, maupun gugatan PTUN.

“APH juga dapat melakukan penyelidikan langsung terhadap penahanan DBH ini, untuk mengetahui apakah penahanan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur dan tidak melanggar hukum,” imbuh praktisi hukum yang dikenal aktif di ormas Generasi Anti Narkotika Nasional (GANN) tersebut.

Terkait dengan skandal penahanan DBH Rp 1,08 triliun yang dibongkar oleh Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama KN) V BPK RI, Slamet Kurniawan, Rabu (8/5/2024) pekan lalu, di Gedung DPRD Lampung, yang juga didengar langsung oleh Gubernur Arinal Djunaidi, Novianti memberikan beberapa saran kepada Pemprov Lampung. 

“Dalam menanggapi persoalan ini, saya ingin menyampaikan beberapa konsesi yang diharapkan dilakukan oleh Pemprov Lampung. Yaitu, pengelolaan DBH harus transparan dan akuntabel, peningkatan kemandirian fiskal daerah, peningkatan pengawasan DBH oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), peningkatan manajemen kas oleh pemprov dan kabupaten/kota, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dana negara, serta meningkatkan keterlibatan APH dalam pengawasan dan penegakan hukum,” tuturnya lanjut.

Mengenai perlunya APH menelisik skandal penahanan DBH Rp 1,08 triliun ini, praktisi hukum kelahiran Baturaja itu memaparkan, bahwa dasar hukum yang relevan digunakan meliputi UU Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor: 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan berbagai undang-undang lainnya yang mengatur tugas dan wewenang APH.

“Bila dibutuhkan, dapat menggunakan UU Nomor: 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” sambungnya.

Sebagaimana diketahui, saat menyampaikan sambutan dalam acara Rapat Paripurna Istimewa DPRD Lampung mengenai penyerahan LHP BPK RI Perwakilan Lampung atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2023 hari Rabu (8/5/2024) pekan silam, Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama KN) V BPK RI, Slamet Kurniawan, menyentil adanya DBH senilai Rp 1,08 triliun yang belum digelontorkan pemprov kepada 15 kabupaten/kota. 

“Jumlah ini (Rp 1,08 triliun, red) meningkat signifikan dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 695,56 miliar,” beber Slamet Kurniawan.

Terungkapnya borok Pemprov Lampung ini pun menuai berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Mayoritas meminta Gubernur Arinal -yang akan lengser 12 Juni mendatang- untuk segera memberikan hak 15 kabupaten/kota. Banyak juga yang mendorong agar APH turun tangan dengan melakukan penyelidikan terhadap skandal keuangan negara tersebut. (*)

 



Baca Juga