EKSPOS – Tiga mantan petinggi KONI Lampung: ketua umum Yusuf Barusman, sekretaris umum Subeno, dan bendahara umum Lilyana Ali, dituding orang paling bertanggungjawab atas perkara dugaan penyimpangan dana hibah KONI Lampung.
Pasalnya, Agus Nompitu yang dijadikan tersangka atas dugaan penyimpangan penggunaan dana hibah KONI Lampung tahun anggaran 2020 melakukan langkah hukum dengan mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka oleh Kejati Lampung yang mulai digelar Rabu (13/3/2024), di PN Tanjungkarang.
Agus Nompitu yang dikenal sebagai aktivis dan memilih mengundurkan diri dari jabatan Kepala Disnakertrans Lampung seiring penetapannya sebagai tersangka sejak 27 Desember 2023 lalu melakukan perlawanan.
Pada sidang perdana gugatan praperadilan di PN Tanjungkarang, Agus Nompitu didampingi kuasa hukumnya, Chandra Muliawan, juga turut dihadiri anggota Dewan Pertimbangan KONI Lampung, Hi. Ardiansyah, dan beberapa pengurus KONI Lampung periode 2019–2023.
Kepada wartawan, Agus menjelaskan, ia datang ke PN Tanjungkarang sebagai warga negara yang taat hukum.
’’Pertama, sebagai warga negara taat hukum, tentu akan menghormati proses hukum yang ada dan mengikuti proses hukum yang akan dilaksanakan,” ungkapnya.
Agus juga menegaskan, dirinya tidak layak dijadikan tersangka oleh Kejati Lampung. Sebab statusnya di KONI Lampung hanya Wakil Ketua Umum Bidang Perencanaan Program dan Anggaran, bukan penentu atau pengambilan keputusan dan kebijakan. Apalagi memiliki kewenangan terkait kebijakan pengelolaan keuangan.
“Harusnya yang bertanggungjawab di KONI Lampung secara hukum adalah ketua umum yang saat itu dijabat Yusuf Barusman. Sebab, mengacu pada pedoman dana hibah keolahragaan KONI Pusat, ketua umum adalah yang memiliki kewenangan sebagai pengguna anggaran (PA),” jelasnya.
Selain Yusuf Barusman, lanjut Agus, yang kedua adalah Subeno, sekretaris umum. Dia sebagai KPA (kuasa pengguna anggaran). Keduanya sebagai KPA dan PA sama-sama memiliki kewenangan terkait penggunaan anggaran dan persetujuan keuangan.
Ketiga, sambung Agus, adalah bendahara umum yang saat itu dijabat Lilyana Ali.
’’Selain itu, pejabat yang berwenang adalah Bendahara Umum Pak Lilyana Ali, sebagai bendahara pengeluaran. Persetujuan itu dalam bentuk perintah bayar, maka yang berwenang Bendahara Lilyana Ali ini yang menjadi pejabat pengelola keuangan,” jelasnya lagi.
“Sedangkan saya bidang perencanaan. Jadi, bukan pengguna. Sesuai dengan aturan, seharusnya mereka (KPA, ketua, dan bendahara umum) yang bertanggung jawab,” tegas Agus Nompitu.
Terkait item yang diusut Kejati Lampung, Agus menegaskan, dirinya sama sekali tidak terlibat terkait pengadaan katering dan penginapan atlet untuk persiapan PON Papua.
’’Saya kira bisa ditanyakan ke pihak perusahaan katering dan penginapan, dengan siapa mereka berinteraksi dan siapa yang terlibat. Saya sangat yakin dan jelas siapa yang terlibat di situ,” tegas Agus, seraya menjelaskan bahwa satu rupiah pun uang penyimpangan katering dan penginapan tidak ada yang mengalir kepada dirinya.
Sementara kuasa hukum Agus Nompitu, Chandra Muliawan mengatakan, sidang gugatan praperadilan ini untuk menguji dua alat bukti milik Kejati Lampung. ’’Kemungkinan ini tidak cukup alat buktinya untuk menetapkan Pak Agus Nompitu sebagai tersangka. Minimal penetapan tersangka itu dua alat bukti, kita akan uji dua alat bukti itu. Kalau saksi siapa saksi itu, kalau surat apa surat itu? Kita bisa membuktikan surat-surat itu jauh kewenangannya,” terangnya.
Dalam sidang perdana praperadilan tersebut, hakim tunggal, Agus Windana, menunda sidang. Hal ini karena tim kuasa hukum Agus Nompitu tidak melampirkan berkas surat kuasa asli.
’’Sidang ditunda hingga hari Selasa, 19 Maret 2024. Kepada para pemohon untuk dapat hadir lagi,” jelasnya.
Suara sumbang atas penetapan Agus Nompitu sebagai tersangka beberapa waktu lalu ramai menjadi perbincangan publik. Mulai dari praktisi hukum, tokoh masyarakat dan aktivis anti korupsi di Lampung.
Umumnya mereka memiliki pandangan yang sama, bahwa Agus Nompitu hanya dijadikan korban ‘kambing hitam’ pihak tertentu tanpa berani menyentuh aktor yang sesungguhnya, yang selama ini ditengarai sulit disentuh hukum. (*)