EKSPOS – Dana Bagi Hasil (DBH) senilai Rp1,08 Triliun yang belum dibayarkan oleh Pemerintah Provinsi Lampung yang merupakan hak pemerintah kabupaten dan Kota di Lampung dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Hal tersebut diungkapkan Koordinator Lembaga Pemantau Pembangunan Lampung (LPPL), M. Alzier Dianis Thabranie, dalam keterangannya, Jumat (2/8/2024).
Menurut Alzier, pihaknya telah melaporkan secara resmi masalah dana bagi hasil (DBH) ke KPK. Karena masalah DBH yang menjadi hak 15 kabupaten dan kota dari penarikan berbagai pajak yang dipungut dari masyarakat senilai Rp1,08 triliun sesuai data temuan Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama-KN) V BPK RI, Slamet Kurniawan, Rabu (8/5/2024) beberapa waktu lalu, tidak dikucurkan semasa Gubernur Arinal Djunaidi, yang kini telah menjadi sorotan publik.
“Penahanan pembayaran dana bagi hasil oleh Pemprov Lampung semasa gubernur Arinal sebesar Rp1,08 Triliun yang semestinya dikucurkan kesejumlah kabupaten dan kota yang ada di Lampung menjurus ke arah tindak pidana korupsi (tipikor). Penahanan pembayaran itu tidak didasarkan pada hukum yang jelas dan tidak dilakukan dengan prosedur yang sesuai dengan ketentuan,” terang Alzier.
Bahkan, tambah Alzier, gugatan pidana dapat dilakukan karena penahanan DBH bisa dianggap sebagai tindak pidana korupsi, sedangkan gugatan perdata dapat dilakukan karena penahanan DBH tersebut berdampak pada tidak jalannya program pembangunan dan berimbas juga pada terhambatnya kesejahteraan masyarakat secara umum.
“KPK juga dapat melakukan penyelidikan langsung terhadap penahanan DBH ini, untuk mengetahui apakah penahanan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur dan tidak melanggar hukum,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Alzier, pihaknya menyampaikan beberapa konsesi yang diharapkan dilakukan oleh Pemprov Lampung. Yaitu, pengelolaan DBH harus transparan dan akuntabel, peningkatan kemandirian fiskal daerah, peningkatan pengawasan DBH oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), peningkatan manajemen kas oleh pemprov dan kabupaten/kota, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dana negara, serta meningkatkan keterlibatan APH dalam pengawasan dan penegakan hukum.
“Karena itu perlunya KPK menelisik skandal penahanan DBH Rp 1,08 triliun ini,” tambah Alzier lagi.
Dilansir beberapa waktu lalu, saat menyampaikan sambutan dalam acara Rapat Paripurna Istimewa DPRD Lampung mengenai penyerahan LHP BPK RI Perwakilan Lampung atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2023 hari Rabu (8/5/2024) pekan silam, Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama KN) V BPK RI, Slamet Kurniawan, menyentil adanya DBH senilai Rp 1,08 triliun yang belum digelontorkan pemprov kepada 15 kabupaten/kota.
“Jumlah ini (Rp 1,08 triliun, red) meningkat signifikan dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 695,56 miliar,” beber Slamet Kurniawan.
Terungkapnya borok Pemprov Lampung ini pun menuai berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Banyak juga yang mendorong agar APH turun tangan dengan melakukan penyelidikan terhadap skandal keuangan negara tersebut.
Sementara pihak Pemprov Lampung, melalui Sekdaprov Fahrizal Darminto menjelaskan bahwa hutang tersebut merupakan dampak dari hutang yang sudah terjadi sejak 2015.
“Sebetulnya itu kan dampak dari beberapa tahun yang lalu tahun 2015. Kita sudah berusaha mencicil,” ungkap Fahrizal, belum lama ini.
Fahrizal mengakui sulit untuk melakukan pelunasan sekaligus hutang DBH ini, karena jika dilakukan maka keuangan Pemprov Lampung akan lumpuh.
“Ya kita kan sudah berusaha mencicil, tapi mudah-mudahan kedepan kita akan selesaikan. Tapi tidak mungkin kita lunasi sekaligus, karena kalau kita lunasi sekaligus maka mandatori spending kita jadi lumpuh,” ujarnya. (*)