EKSPOS – Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan tahun depan(2025) akan menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia mengganti KUHP warisan kolonial belanda.
Hal tersebut disampaikan Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, dalam acara Rapat Kordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Sentul, Bogor, Kamis (7/11/2024).
“Dalam upaya membangun hukum nasional di bidang hukum pidana kita menyadari hanya tinggal setahun lagi dari sekarang kita akan menerapkan kitab undang-undang hukum pidana nasional yang baru, mengganti hukum kolonial yang sampai hari ini masih kita laksanakan,” ujar Yusril.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, KUHP nasional yang baru nanti bisa memberikan harapan baru bagi masyarakat. Sebab, kata dia, KUHP tersebut disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
“Walaupun cukup banyak peraturan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kita ciptakan sendiri setelah kita merdeka, tapi keberadaan KUHP nasional yang baru ini memberikan harapan baru,” ungkapnya.
“Di mana kita membangun sistem hukum pidana yang berasaskan kepada prinsip-prinsip hukum yang dianut oleh masyarakat kita sendiri, baik berdasarkan kepada hukum adat, hukum tradisi, hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang diadopsi dan ditransformasikan di dalam hukum pidana nasional kita,” tambahnya.
Yusril juga mengatakan dalam waktu satu tahun, pemerintah harus menyelesaikan lima Undang-Undang untuk menyusun KUHP tersebut. Sehingga nantinya tidak mengedepankan penindakan lagi, melainkan restorative justice.
“Lebih mendekatkan kepada keadilan restoratif yang menitikberatkan pada pemulihan hak-hak dari korban dan terciptanya kedamaian, ketenteraman, dan kemudian keadilan di tengah-tengah masyarakat,” jelasnya.
Menurut Yusril, kendati restorative justice bukan sesuatu yang baru di dalam hukum perkembangan hukum masyarakat, karena di Indonesia sendiri ada hukum adat dan agama yang mengedepankan aspek tersebut.
“Di mana para pihak diminta untuk bermusyawarah, berdamai, mencari jalan tengah menyelesaikan konflik, kalau tidak bisa diselesaikan baru norma-norma hukum pidana dipaksakan,” jelasnya. (*)