EKSPOS – Mencuatnya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi pada PT Lampung Energi Berjaya (PT LEB) terkait pengelolaan dana participating interest (PI) 10% Wilayah Kerja Offshore South East Sumatera (WK OSES) senilai US$ 17.280,000, jika dikonversikan mencapai Rp 271,5 miliar, yang kini disidik Kejati Lampung berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kajati Lampung Nomor: Print-09/L.8/Fd.2/10/2024, tertanggal 17 Oktober 2024, sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan.
Kenapa? Karena setahun yang lalu, elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Anak Muda Lampung telah mewanti-wanti mengenai PT LEB tersebut. Hanya saja -seperti biasa-, Pemprov Lampung tidak menggubris saran atau masukan dari elemen masyarakatnya sendiri. Akibatnya kini, anak usaha BUMD PT Lampung Jasa Utama (LJU) itu dililit persoalan serius, yaitu dugaan korupsi dengan nilai yang cukup fantastis: Rp 271,5 miliar.
Memangnya apa yang telah diwanti-wanti oleh Forum Anak Muda Lampung terkait PT LEB setahun yang lalu itu? Menukil dari m.rctiplus.com, pada hari Senin, 17 April 2023, melalui keterangan tertulis, Perwakilan Forum Anak Muda Lampung, Arjun Fatahillah, meminta Pemprov Lampung berkomitmen menerapkan asas good governance dalam pengelolaan participating interest (PI) Blok Migas Southeast Sumatra (SES).
Adapun pengelolaan blok migas tersebut dilakukan melalui PT Lampung Energi Berjaya (PT LEB) yang dibentuk oleh BUMD Provinsi Lampung, yakni PT Lampung Jasa Utama (PT LJU). Arjun Fatahillah, mengatakan pembentukan anak perusahaan tersebut disinyalir tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Akibatnya, bukan hanya terganjal dalam proses peralihan PI dari PT Pertamina Hulu Energi Overseas Southeast Sumatra (PHE OSES) sebagai kontraktor Blok Migas SES, namun juga berpotensi menyebabkan kerugian keuangan Provinsi Lampung.
“Kita minta Pemprov Lampung untuk komitmen menjalankan pemerintahan secara good governance. Sayangnya, kami menemukan indikasi unprofessional dalam pembentukan PT LEB. Dan ini bukan hanya menjadi ganjalan dalam proses pengalihan PI dari kontraktor, tapi juga berpotensi menyebabkan kerugian bagi daerah,” ujar Arjun saat itu.
Ia menyebut, berdasarkan Permen ESDM Nomor: 37 Tahun 2016 yang menjadi ketentuan pembagian PI Blok Migas, yang mana Pasal 3 Huruf a Poin 1 menyatakan BUMD yang ditunjuk mengelola PI, seluruh kepemilikan sahamnya harus dimiliki oleh pemerintah daerah.
Hal ini menjadi sandungan bagi PT LJU yang mana berdasarkan Perda Provinsi Lampung Nomor: 2 Tahun 2009, pada Pasal 8 Ayat 3 Poin 3 diketahui saham Pemprov Lampung tidak mencapai 100 persen, melainkan hanya 98,4 persen.
Sedangkan persoalan terkait PT LEB yakni, dalam ketentuan Permen ESDM Nomor: 37 Tahun 2016 mengatakan, bahwasanya Perseroan Terbatas yang dibentuk oleh BUMD untuk pengelolaan PI, harus disahkan melalui peraturan daerah (perda) sebagaimana disinggung pada Pasal 1 Ayat 6, Pasal 3 Huruf b dan Pasal 7 huruf a.
Namun kenyataannya, Perda Provinsi Lampung Nomor: 2 Tahun 2009 yang seharusnya menjadi landasan pembentukan PT LEB, hingga saat ini masih dalam proses revisi. Sedangkan PT LEB sendiri sudah didirikan sejak tahun 2020.
“Kalau perdanya saja masih dalam proses revisi, atas landasan apa PT LJU mendirikan PT LEB, di mana nomenklaturnya? Artinya, kalau landasannya bermasalah, seperti apa pertanggungjawaban biaya operasional PT LEB yang sudah masuk tahun ketiga. Jadi harus hati-hati ini, jangan sampai menjadi kerugian bagi keuangan daerah,” ujarnya.
Maka dari itu, ia meminta agar pengelolaan PI Migas Lampung dilakukan secara profesional dan transparan, sehingga manfaat kekayaan alam Provinsi Lampung betul-betul dirasakan secara maksimal oleh rakyat Lampung.
“Sekarang PT LEB itu jauh dari transparan dan pengawasan publik. Jangankan mau tahu laporan keuangannya seperti apa, kanal informasi kayak website resmi maupun medsos PT LEB tidak ditemukan, padahal sudah seharusnya PT LEB melakukan keterbukaan informasi, kan dibiayai APBD, artinya pakai duit rakyat. Masak sudah makan duit rakyat tiga tahun, tapi enggak terbuka sama rakyat?” ungkap Arjun Fatahillah.
Terlebih, PT LEB nantinya akan mengelola dana PI yang besarnya mencapai Rp 300 miliar per tahun, namun tidak ada transparansi pengelolaan dan penggunaan dana tersebut, tentu seluruh rakyat Lampung patut curiga.
“Jangan-jangan nanti duitnya buat ke casino sama stafnya, bisa sangat bahaya ini. Kan yang kena bisa dirutnya, bisa pimpinan daerahnya, padahal hanya ulah staf biasa,” pungkasnya.
Sementara itu, pengamat politik pemerintahan, Helman Saleh, Minggu (3/11/2024) malam, menilai jika PT LEB merupakan anak perusahaan PT LJU, kemungkinan tidak perlu peraturan daerah (perda) karena dianggap aksi korporasi.
“Toh, golden share PI tersebut tidak menyetor uang beli saham, tetapi dipotong atau dicicil dari pembagian dividen dari Pertamina. Namun sebaliknya, kalau PT LEB itu merupakan varian BUMD energi tersendiri, berarti keputusan politik pemprov, ya harus memakai perda, walau pun itu golden share,” tutur Helman Saleh via telepon, seperti dikutip kbninewstex.com.
Menurut dia, seharusnya yang benar adalah Pemkab Lamtim sebagai pihak yang memiliki wilayah yang menerima golden share PI tersebut. Karena daerah Lamtim yang terkena dampak lingkungannya. Bisa juga PI tersebut sebagiannya secara proporsional dimiliki BUMD Pemprov Lampung, dalam hal ini PT LJU. (*)